Perubahan zaman tidak hanya berdampak pada cara manusia bekerja dan berkomunikasi, tetapi juga pada cara mereka belajar. Generasi Z, anak muda yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh di era digital dengan karakteristik khas seperti visual, adaptif, multitasking, dan kritis terhadap otoritas. Hal ini berdampak besar terhadap preferensi mereka dalam memilih ruang belajar.
Kini, bukan perpustakaan yang menjadi pilihan utama, melainkan coworking space, ruang kerja bersama yang fleksibel, nyaman, dan dinamis. Pergeseran ini tidak hanya mengubah kebiasaan pribadi lepas pribadi, melainkan menantang cara kampus mendesain ekosistem pembelajarannya.
Lebih dari Sekadar Tempat Nongkrong
Coworking space mulanya dikenal sebagai tempat para freelancer, kreator konten, dan pelaku startup bertemu, bekerja, dan saling berkolaborasi. Namun dalam beberapa tahun terakhir, mahasiswa pun mulai mengadopsinya sebagai ruang belajar.
Penelitian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh Dwi Retno Syahfitri Harahap pada tahun 2024 menunjukkan bahwa mahasiswa Gen Z memilih coworking karena tiga alasan utama diantaranya:
- Nilai ekonomi, dimana ruang tersebut lebih terjangkau dibanding menyewa ruang privat
- Kenyamanan fisik dan psikologi, karena suasana yang kasual namun tetap kondusifÂ
- Fungsi sosial, sebab terbuka peluang untuk diskusi, jejaring dan kolaborasi lintas jurusan
Jadi, coworking space seperti memberi ruang keleluasaan bagi mahasiswa untuk belajar sesuai ritme dan kebutuhannya, tanpa khawatir terhadap tekanan formalitas ruang akademik konvensional.
Dengan demikian, muncul pertanyaan, apa gunanya perpustakaan kalau begitu?
Mengapa Perpustakaan Tidak Lagi Menjadi Primadona? Â
Tak bisa dipungkiri, perpustakaan masih menyimpan banyak manfaat, terutama untuk akses literatur dan suasana sunyi. Tapi, bagi Gen Z, perpustakaan seringkali dianggap terlalu kaku dan membatasi. Misalnya, aturan yang ketat, desain ruang yang monoton, serta waktu operasional yang terbatas menjadi alasan mengapa ruang ini makin ditinggalkan.