Matahari Fukuoka siang itu terasa terik, memantul di dinding kaca bangunan sekolah berarsitektur klasik yang berdiri di tengah permukiman tenang. Jam hampir menunjukkan pukul duaabelas ketika bus yang kami tumpangi perlahan berhenti di depan gedung Fukuoka Kaisei Girls School. Tak ada gerbang besar yang memisahkan sekolah dari jalan raya---hanya papan nama kecil bertuliskan huruf kanji dan hiragana yang sederhana, namun berwibawa. Di halaman Ruang Asisi depan sekolah, beberapa guru dan staf sudah berdiri berjajar, tersenyum sopan, menunduk dalam salam khas Jepang. Kepala sekolahnya pun menyambut kami dengan tangan terlipat di depan dada, disertai ucapan selamat datang  dalam bahasa Jepang yang hangat namun penuh tata krama.
Suasana itu langsung meninggalkan kesan mendalam. Semua dilakukan dengan tenang, tertib, tanpa hiruk-pikuk. Tidak ada spanduk penyambutan atau bunyi musik seremonial---hanya ketulusan dalam gerak sederhana. Di momen pertama itulah saya menyadari, Jepang adalah bangsa yang menanamkan kesopanan bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai bentuk penghargaan terhadap sesama manusia. Sebuah pelajaran karakter yang muncul bahkan sebelum kami benar-benar belajar di kelas.
Kunjungan ini merupakan bagian dari International Experiential Learning Program SMA Regina Pacis Jakarta, yang berlangsung pada 5--12 Oktober lalu. Sebanyak dua belas murid kami berkesempatan mengikuti pembelajaran lintas budaya di sekolah mitra yang selama beberapa tahun terakhir menjalin komunikasi daring dengan Regina Pacis. Tahun ini menjadi momentum bersejarah---pertemuan perdana yang membuka babak baru dalam kerja sama internasional, dan yang lebih penting, dalam refleksi tentang makna pendidikan karakter di tengah dunia yang kian global.
Sapu, Pel, dan Etos Kerja
Pemandangan itu saya saksikan saat jam pulang sekolah. Begitu bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, para murid di Fukuoka Kaisei Girls School tak langsung berhamburan keluar. Mereka justru berganti celemek, lalu dengan sigap mengambil peralatan kebersihan yang sudah tertata di tiap ruang kelas. Tak ada suara guru yang memerintah atau pengawas yang mengawasi. Semuanya berjalan alami, seolah menjadi bagian dari rutinitas harian yang mereka nikmati. Ada yang menyapu lantai, ada yang mengepel, ada pula yang membersihkan papan tulis. Gerakan mereka cepat, teratur, dan penuh kesungguhan.
Saya terpaku menyaksikan itu. Ada nilai moral yang bekerja diam-diam di balik aktivitas sederhana tersebut: rasa tanggung jawab, kebersamaan, dan penghargaan terhadap lingkungan. Kedisiplinan itu bukan hasil dari aturan kaku, melainkan dari kebiasaan yang telah mendarah daging. Di setiap ruang sekolah terdapat peralatan kebersihan lengkap---sapu, kain pel, ember---semuanya tertata rapi dan digunakan bersama. Kebersihan bukan tugas petugas khusus, melainkan bagian dari pendidikan.
Thomas Lickona (1991), tokoh pendidikan karakter dari Amerika Serikat, menyebut bahwa pendidikan moral sejati tidak hanya membentuk pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), tetapi juga membangun perasaan mencintai kebaikan (moral feeling) dan kebiasaan melakukan kebaikan (moral action). Apa yang dilakukan anak-anak Jepang di sekolah itu adalah wujud konkret dari tiga dimensi tersebut. Mereka tahu pentingnya kebersihan, mencintai lingkungan bersih, dan melakukannya dengan tanggung jawab.
Melihat itu, saya seperti diajak kembali ke masa kecil, puluhan tahun silam di Pulau Solor, Flores. Setiap pagi kami membawa sapu dari rumah, mengambil air laut untuk menyiram halaman agar tak berdebu, lalu menyapu ruang kelas dan halaman sekolah sebelum pelajaran dimulai. Seusai jam sekolah, kami mengulang rutinitas itu. Tanpa sadar, kebiasaan tersebut menanamkan rasa tanggung jawab dan kebanggaan terhadap lingkungan belajar kami sendiri. Kini, di Jepang, saya seperti menemukan kembali jejak masa lalu yang sempat hilang di sekolah-sekolah kita.
Menata Diri, Menghargai Waktu
Pelajaran karakter tidak berhenti di ruang kelas. Di luar sekolah, para siswa Jepang menunjukkan hal yang sama. Mereka berjalan cepat, fokus, tanpa sibuk menunduk pada gawai. Budaya jalan kaki di Jepang bukan sekadar kebiasaan fisik, tetapi bentuk penghargaan terhadap waktu dan diri sendiri. Tak ada yang tergesa-gesa, tetapi juga tak ada yang membuang waktu dengan sia-sia. Semuanya berjalan pada ritme efisien namun tetap tenang.