Di sebuah sudut halaman sekolah dasar di pinggiran Jakarta, seekor kupu-kupu kecil mendarat di bahu seorang anak kelas dua. Teman-temannya bersorak riang, namun sang guru hanya tersenyum dan membiarkan keheningan menyelimuti momen itu. "Lihat," katanya pelan, "ciptaan Tuhan pun mau berteman dengan kita kalau kita tenang." Sekilas, kejadian ini tampak sederhana. Namun di baliknya tersimpan pesan pedagogis yang kuat: anak-anak belajar menghargai keindahan kehidupan melalui pengalaman langsung, bukan sekadar ceramah panjang.
Dalam hiruk-pikuk pendidikan modern yang sering terjebak dalam target, asesmen, dan teknologi, kisah kecil itu terasa seperti jeda spiritual. Di tengah tuntutan Kurikulum Nasional, krisis karakter, dan ancaman kerusakan ekologis, dunia pendidikan Indonesia membutuhkan inspirasi yang lebih mendasar: sebuah visi kemanusiaan dan alam yang saling terjalin. Di sinilah pedagogi Fransiskus dari Asisi menemukan relevansinya.
Fransiskus (1181--1226) bukan seorang guru formal. Namun, cara hidupnya --- sederhana, penuh kasih, dekat dengan alam dan sesama --- telah menginspirasi praktik pendidikan selama berabad-abad. Kini, gagasan dan teladannya kembali menemukan tempatnya di ruang kelas: bukan sebagai romantisisme religius semata, tetapi sebagai pendekatan pedagogis yang sangat kontekstual dengan zaman.
1. Kesederhanaan sebagai Titik Berangkat Pendidikan
Fransiskus dikenal karena memilih hidup dalam kesederhanaan radikal, menanggalkan status sosial dan harta demi membangun relasi sejati dengan Allah dan sesama. Dalam konteks pendidikan, prinsip ini mengajarkan kita untuk menata ulang prioritas sekolah: mengembalikan fokus dari infrastruktur megah dan teknologi mahal ke arah kehadiran manusiawi yang autentik di ruang belajar (Cowan, 2020).
Kesederhanaan bukan berarti kemunduran, tetapi penyederhanaan orientasi. Banyak sekolah hari ini terjebak pada impresi luar --- gedung, program internasional, ranking --- tetapi lupa menumbuhkan ruang dialog, kesadaran diri, dan kepedulian sosial. Kurikulum Nasional sebenarnya memberi peluang untuk kembali ke "inti pendidikan" (core education): pengembangan karakter, kemandirian, dan nalar kritis. Prinsip Fransiskus membantu mengarahkan kembali ke jalur itu.
Dalam pendekatan Pembelajaran Mendalam, kesederhanaan menjadi landasan agar siswa dapat mengalami proses berpikir yang reflektif, bukan sekadar menghafal materi. Di sekolah Katolik, kesederhanaan Fransiskus dapat diterapkan melalui pembiasaan hidup berbagi dan doa sederhana bersama. Di sekolah plural, semangat ini bisa hadir melalui pembelajaran kolaboratif, program kewirausahaan sosial, atau pengurangan konsumsi berlebihan. Ketika siswa diajak mengalami kesederhanaan --- bukan hanya mempelajarinya --- karakter mereka terbentuk secara mendalam.
2. Kerendahan Hati dan Relasi yang Memanusiakan
Fransiskus memandang semua manusia setara sebagai "saudara dan saudari." Ia hadir di antara kaum miskin bukan sebagai dermawan, melainkan sebagai sahabat. Dalam dunia pendidikan, ini menginspirasi pendekatan relasional dan humanistik: guru bukan sekadar penyampai ilmu, melainkan pendamping pertumbuhan murid (Berryman, 2019).
Krisis karakter di sekolah sering berakar dari relasi yang tidak sehat: guru mengajar secara top-down, siswa pasif, dan iklim kelas dipenuhi tekanan. Pedagogi Fransiskus menawarkan jalan lain: kerendahan hati dalam mengajar. Guru tidak takut mengakui ketidaktahuan, memberi ruang bagi dialog, dan benar-benar mendengar suara murid.
Pendekatan Pembelajaran Mendalam mendorong guru untuk membangun relasi bermakna yang mendukung proses berpikir kritis dan reflektif. Praktik sederhana seperti circle time (lingkar dialog pagi), mentoring personal, atau budaya refleksi bersama dapat menciptakan iklim sekolah yang lebih hangat dan inklusif. Ini sejalan dengan visi pendidikan nasional yang menempatkan pembentukan karakter dan daya pikir sebagai tujuan utama.