Guru adalah profesi penuh stres. Mereka menghadapi ekspektasi orang tua, tuntutan kurikulum, beban administrasi, serta kondisi sosial murid yang beragam. Tetapi justru dalam stres itulah lahir ketangguhan. Nietzsche (1883/2006) menyebut bermensch sebagai manusia yang berani menghadapi penderitaan, melampaui keterbatasan, dan menciptakan makna baru.
Guru di Indonesia sering tampil sebagai bermensch pendidikan. Meski kesejahteraan belum ideal, mereka terus hadir di kelas dengan senyum, memotivasi murid, dan berimprovisasi dengan keterbatasan. Robot tidak mengenal stres, tidak mengenal penderitaan. Tetapi guru, melalui pergulatan itu, melahirkan daya cipta dan ketahanan yang justru menjadi kekuatan pendidikan.
Profesionalisme dan Emansipasi Guru
Guru bukan birokrat kecil, melainkan profesional yang seharusnya diberi otonomi. Bolam dan McMahon (2004) menekankan pentingnya pengembangan diri, refleksi, dan komunitas profesional bagi guru. Profesionalisme bukan hanya soal sertifikat atau kenaikan pangkat, tetapi kemampuan guru untuk terus belajar dan memperbarui praktik mengajar.
Habermas (1990) memberi kerangka filosofis: guru harus diposisikan sebagai aktor dalam communicative action---membangun ruang deliberatif dengan murid, rekan, dan masyarakat. Profesionalisme sejati berarti guru berperan aktif dalam menentukan arah pendidikan, bukan sekadar menjalankan perintah dari atas.
Konteks Indonesia: Digitalisasi Tanpa Arah
Indonesia sedang giat mendorong digitalisasi pendidikan, salah satunya lewat program "Satu Sekolah Satu IFP (Interactive Flat Panel)". Namun di banyak sekolah, perangkat canggih itu hanya menjadi pajangan. Jaringan internet tidak stabil, pelatihan guru minim, dan perangkat itu lebih sering menggantikan proyektor lama tanpa mengubah cara mengajar.
Kondisi ini mengingatkan kita pada Whitehead: teknologi tanpa keterhubungan dengan kehidupan nyata hanya akan melahirkan ide beku. Yang lebih urgen adalah memastikan internet merata, menyediakan laptop untuk murid, dan melatih guru agar nyaman dengan perangkat sederhana yang benar-benar mendukung pembelajaran. Digitalisasi pendidikan tidak boleh berhenti pada simbolisasi, melainkan harus berakar pada kebutuhan riil.
Guru Bukan Robot: Sintesis Filosofis
Habermas, Nietzsche, dan Whitehead memberi kita panduan reflektif. Habermas mengingatkan bahaya dominasi sistem dan perlunya ruang komunikasi sejati. Nietzsche menegaskan ketangguhan guru sebagai bermensch yang melampaui keterbatasan. Whitehead mengingatkan agar pendidikan tidak melahirkan ide beku, tetapi hidup dalam pengalaman.
Ketiganya menegaskan satu hal: guru adalah manusia, bukan robot. Mereka berkreasi, berjuang, dan berefleksi. Sistem pendidikan hanya akan bermakna jika menghormati kemanusiaan guru---sebagai profesional, pendamping, dan inspirator.