Di sebuah sekolah pinggiran kota, seorang guru bahasa masuk kelas dengan wajah penuh semangat meski laptop di mejanya rusak. Listrik padam, papan tulis rapuh. Murid-murid menatap penuh harap, menunggu sesuatu yang berarti dari jam pelajaran itu. Tanpa ragu, ia menulis bait puisi di papan kapur, lalu mengaitkannya dengan pengalaman sehari-hari murid. Diskusi pun mengalir: dari keindahan kata, pengalaman jatuh cinta pertama, hingga keresahan melihat sungai di kampung yang tercemar.
Di tengah keterbatasan, pelajaran tetap hidup. Murid tidak sekadar membaca puisi, mereka mengalami bagaimana kata-kata bisa menjadi jendela untuk memahami diri dan dunia. Guru itu tidak menyerah pada keadaan, ia berimprovisasi, berkreasi, dan menghidupkan kelas. Kisah ini menegaskan: guru bukan robot yang menunggu sistem bekerja. Mereka adalah pribadi manusiawi yang melampaui rintangan dengan kreativitas dan intuisi.
Kisah nyata seperti ini bertebaran di berbagai sekolah Indonesia. Tetapi di balik inspirasi itu, ada paradoks besar: guru di era digital dituntut serba bisa. Mereka diminta inovatif, profesional, sekaligus tahan stres. Namun sering kali, sistem pendidikan memperlakukan mereka lebih sebagai operator birokrasi ketimbang pendidik sejati. Pertanyaan penting pun muncul: apakah kita sungguh memandang guru sebagai pusat peradaban, atau sekadar mesin penggerak kurikulum?
Tantangan Zaman Digital: Guru Dituntut Serba Bisa
Era digital membawa janji sekaligus beban baru bagi guru. Di satu sisi, teknologi membuka peluang inovasi. Di sisi lain, guru makin dibebani urusan administratif: laporan daring, akreditasi, hingga aplikasi yang harus diisi berulang kali. Tidak jarang, waktu untuk mempersiapkan pembelajaran berkualitas justru habis untuk mengelola dokumen.
Habermas (1984) mengingatkan kita pada bahaya ketika system (struktur birokrasi, regulasi, teknologi) mendominasi lifeworld (ruang hidup, komunikasi, dan relasi manusia). Pendidikan yang terlalu larut dalam sistem akan kehilangan rohnya sebagai ruang dialog. Guru bukan lagi pendidik yang memfasilitasi pemahaman, melainkan sekadar operator kebijakan. Inilah wajah ironis pendidikan kita: guru diminta serba bisa, tetapi ruang hidupnya kian menyempit.
Kreativitas sebagai Nafas Pendidikan
Whitehead (1929) pernah mengingatkan bahaya pendidikan yang hanya melahirkan "inert ideas"---ide-ide beku yang dipelajari tanpa pernah dipakai dalam kehidupan nyata. Guru kreatif mampu menghidupkan ide itu, mengaitkannya dengan pengalaman murid. Seperti guru bahasa yang mengaitkan puisi dengan kehidupan sehari-hari, kreativitas mengubah pelajaran dari hafalan menjadi pengalaman.
Kreativitas guru adalah resistensi terhadap rutinitas mekanis. Guru matematika yang menjadikan pasar tradisional sebagai media belajar aritmetika, atau guru IPA yang mengajak murid meneliti kualitas air di sekitar sekolah, sedang melawan reduksi pendidikan menjadi sekadar hafalan. Inilah bentuk nyata pendidikan bermutu---pendidikan yang siap menghadapi tantangan abad 21 karena menggabungkan logika dengan imajinasi.
Habermas (1987) menekankan bahwa kreativitas juga lahir dari ruang komunikasi yang bebas distorsi. Guru butuh ruang untuk berdialog, bereksperimen, bahkan berdebat sehat tentang praktik pembelajaran. Sayangnya, ruang semacam ini sering tergerus oleh beban administratif.
Menghadapi Stres dan Ketidakpastian