Di sebuah kelas menengah di Jakarta, suasana terasa riuh. Murid-murid sibuk menyalin catatan dari papan tulis, sementara guru bergegas mengejar target kurikulum yang padat. Di luar kelas, dunia bergerak cepat. Teknologi, ekonomi kreatif, dan perubahan sosial menuntut generasi muda yang mampu berpikir kritis, beradaptasi, dan belajar secara mandiri. Pertanyaannya: apakah sekolah kita benar-benar sedang menyiapkan murid-murid untuk menghadapi realitas itu, atau sekadar melatih mereka menghafal demi lulus ujian?
Fenomena serupa tidak hanya terjadi di kota besar. Di berbagai daerah, pembelajaran masih sering dipandang sebagai proses transfer pengetahuan satu arah. Murid dianggap berhasil bila mampu menirukan kembali isi buku teks atau menyelesaikan soal ujian. Padahal, dalam dunia nyata, kompetensi yang dibutuhkan jauh lebih kompleks: mengatur diri, menetapkan tujuan, dan menemukan strategi belajar yang efektif.
Kebutuhan inilah yang menjadikan konsep self-regulated learning (SRL) atau regulasi diri dalam belajar, sebagaimana dipaparkan Dale H. Schunk dan Jeffrey A. Greene (2017), relevan untuk konteks pendidikan Indonesia saat ini.
Apa itu Regulasi Diri dalam Belajar?
Menurut Schunk dan Greene (2017), regulasi diri dalam belajar adalah kemampuan murid untuk secara sadar mengatur kognisi, motivasi, perilaku, dan emosi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Seorang murid yang memiliki regulasi diri bukan hanya tahu apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana cara belajar yang sesuai, kapan harus mengevaluasi diri, serta bagaimana mengatasi rasa bosan atau putus asa.
Barry Zimmerman, salah satu pionir bidang ini, menggambarkan SRL sebagai proses siklus yang terdiri dari tiga tahap: forethought (perencanaan), performance (pelaksanaan dan pemantauan), serta self-reflection (refleksi dan evaluasi). Siklus ini menunjukkan bahwa belajar bukanlah kegiatan linier, melainkan proses dinamis yang selalu melibatkan umpan balik.
Di Indonesia, gagasan ini menantang paradigma lama yang cenderung menekankan disiplin eksternal. Misalnya, murid dinilai rajin bila selalu mengerjakan PR tepat waktu. Namun, regulasi diri jauh melampaui sekadar kepatuhan. Ia berbicara tentang kesadaran murid untuk mengatur strategi belajarnya sendiri---apakah harus membaca ulang, berdiskusi, atau membuat peta konsep---serta motivasi intrinsik untuk terus berkembang.
Dari Hafalan Menuju Pembelajaran Mendalam
Budaya belajar di Indonesia masih kental dengan tradisi hafalan. Tidak jarang, siswa dinilai cerdas bila mampu mengingat banyak fakta. Padahal, dalam konteks pembelajaran mendalam (deep learning), hafalan hanyalah titik awal. Yang lebih penting adalah bagaimana murid mengaitkan pengetahuan baru dengan pemahaman yang sudah ada, membangun makna, dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah nyata.
Penelitian Schunk dan Swartz (1993) menunjukkan bahwa ketika siswa diberi tujuan belajar yang berfokus pada pemahaman, bukan sekadar hasil, mereka lebih mampu mempertahankan strategi belajar yang efektif. Artinya, orientasi pada pemahaman mendorong lahirnya pembelajar mandiri yang siap menghadapi tantangan kompleks.
Dalam konteks Indonesia, pergeseran dari hafalan ke pembelajaran mendalam bisa dimulai dari hal sederhana. Misalnya, guru matematika tidak hanya mengajarkan rumus, tetapi juga mendorong murid untuk menjelaskan mengapa rumus tersebut berlaku. Guru sejarah tidak hanya meminta murid mengingat tahun peristiwa, tetapi juga mengajak mereka menganalisis sebab-akibatnya. Proses ini menumbuhkan regulasi diri sekaligus mengasah daya pikir kritis.
Peran Guru: Dari Pengajar ke Fasilitator
Kunci keberhasilan pembelajaran mendalam terletak pada guru. Dalam kerangka SRL, guru bukan hanya penyampai informasi, melainkan fasilitator yang membantu murid mengembangkan strategi regulasi diri. Guru bisa memodelkan cara merencanakan tugas, menunjukkan bagaimana melakukan refleksi setelah ujian, atau memberikan umpan balik yang mendorong siswa untuk memperbaiki pendekatan belajarnya.
Bracha Kramarski (2017) menegaskan bahwa guru yang terlatih dalam SRL cenderung mampu menumbuhkan hal serupa pada muridnya. Guru yang memahami cara belajar mandiri akan lebih efektif membimbing siswa menjadi pembelajar otonom.
Di Indonesia, tantangan terbesar adalah memastikan guru memiliki kapasitas ini. Program pelatihan guru perlu memasukkan keterampilan SRL sebagai bagian integral, bukan hanya metodologi pengajaran konvensional. Seorang guru bahasa misalnya, bukan hanya mengajarkan tata bahasa, tetapi juga melatih siswa menetapkan target membaca, memilih strategi, dan mengevaluasi pemahamannya.
Konteks Budaya Indonesia: Gotong Royong dalam Belajar
Sebagian orang mengira regulasi diri identik dengan belajar individual. Namun, dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi gotong royong, SRL justru bisa diperkaya dengan praktik kolektif. Konsep co-regulation dan shared regulation (Hadwin, Jrvel, & Miller, 2018) menekankan bahwa murid dapat saling membantu dalam mengatur proses belajar.
Diskusi kelompok, proyek sosial, hingga peer feedback adalah sarana efektif menumbuhkan regulasi diri berbasis kebersamaan. Seorang murid yang terbiasa memberi umpan balik kepada temannya akan belajar merefleksikan dirinya sendiri. Dalam konteks ini, gotong royong bukan sekadar nilai budaya, tetapi juga strategi pedagogis yang relevan.
Tantangan dan Peluang di Era Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka yang kini diterapkan di Indonesia membawa angin segar. Dengan menekankan student agency---kemandirian dan inisiatif murid---kurikulum ini sejalan dengan prinsip regulasi diri. Murid didorong memilih jalur pembelajaran sesuai minatnya, sementara guru lebih berperan sebagai pendamping.
Namun, tantangan besar menanti. Pertama, kesenjangan digital masih nyata. Tidak semua murid memiliki akses teknologi yang dapat mendukung regulasi diri, seperti aplikasi pembelajaran adaptif. Kedua, budaya instan yang dipicu media sosial membuat sebagian siswa sulit bertahan dalam proses belajar yang memerlukan ketekunan. Ketiga, tekanan ujian standar nasional kadang memaksa guru kembali pada pola hafalan cepat.
Meski begitu, peluang tetap terbuka lebar. Teknologi dapat digunakan untuk melatih regulasi diri, misalnya lewat aplikasi belajar yang menyediakan umpan balik langsung. Asesmen formatif juga bisa menjadi sarana refleksi berkelanjutan. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, Kurikulum Merdeka bisa menjadi momentum untuk mengintegrasikan SRL dalam sistem pendidikan Indonesia.
Catatan Akhir
Regulasi diri dalam belajar bukan sekadar istilah akademik. Ia adalah keterampilan hidup yang menentukan apakah murid mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat. Di tengah dunia yang serba cepat berubah, kemampuan mengatur diri dalam belajar menjadi bekal penting untuk menghadapi masa depan.
Sekolah Indonesia memiliki peluang besar untuk menumbuhkan keterampilan ini. Dengan menggeser fokus dari hafalan menuju pemahaman, dari guru sebagai pusat menuju murid sebagai penggerak, serta dari belajar individual menuju kolaborasi, kita bisa menciptakan ekosistem pendidikan yang menumbuhkan regulasi diri.
Harapannya, dari ruang-ruang kelas di berbagai pelosok negeri, lahir generasi yang bukan hanya pandai menjawab soal ujian, tetapi juga mampu mengatur dirinya untuk terus belajar, beradaptasi, dan memberi kontribusi nyata bagi bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI