Peran Guru: Dari Pengajar ke Fasilitator
Kunci keberhasilan pembelajaran mendalam terletak pada guru. Dalam kerangka SRL, guru bukan hanya penyampai informasi, melainkan fasilitator yang membantu murid mengembangkan strategi regulasi diri. Guru bisa memodelkan cara merencanakan tugas, menunjukkan bagaimana melakukan refleksi setelah ujian, atau memberikan umpan balik yang mendorong siswa untuk memperbaiki pendekatan belajarnya.
Bracha Kramarski (2017) menegaskan bahwa guru yang terlatih dalam SRL cenderung mampu menumbuhkan hal serupa pada muridnya. Guru yang memahami cara belajar mandiri akan lebih efektif membimbing siswa menjadi pembelajar otonom.
Di Indonesia, tantangan terbesar adalah memastikan guru memiliki kapasitas ini. Program pelatihan guru perlu memasukkan keterampilan SRL sebagai bagian integral, bukan hanya metodologi pengajaran konvensional. Seorang guru bahasa misalnya, bukan hanya mengajarkan tata bahasa, tetapi juga melatih siswa menetapkan target membaca, memilih strategi, dan mengevaluasi pemahamannya.
Konteks Budaya Indonesia: Gotong Royong dalam Belajar
Sebagian orang mengira regulasi diri identik dengan belajar individual. Namun, dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi gotong royong, SRL justru bisa diperkaya dengan praktik kolektif. Konsep co-regulation dan shared regulation (Hadwin, Jrvel, & Miller, 2018) menekankan bahwa murid dapat saling membantu dalam mengatur proses belajar.
Diskusi kelompok, proyek sosial, hingga peer feedback adalah sarana efektif menumbuhkan regulasi diri berbasis kebersamaan. Seorang murid yang terbiasa memberi umpan balik kepada temannya akan belajar merefleksikan dirinya sendiri. Dalam konteks ini, gotong royong bukan sekadar nilai budaya, tetapi juga strategi pedagogis yang relevan.
Tantangan dan Peluang di Era Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka yang kini diterapkan di Indonesia membawa angin segar. Dengan menekankan student agency---kemandirian dan inisiatif murid---kurikulum ini sejalan dengan prinsip regulasi diri. Murid didorong memilih jalur pembelajaran sesuai minatnya, sementara guru lebih berperan sebagai pendamping.
Namun, tantangan besar menanti. Pertama, kesenjangan digital masih nyata. Tidak semua murid memiliki akses teknologi yang dapat mendukung regulasi diri, seperti aplikasi pembelajaran adaptif. Kedua, budaya instan yang dipicu media sosial membuat sebagian siswa sulit bertahan dalam proses belajar yang memerlukan ketekunan. Ketiga, tekanan ujian standar nasional kadang memaksa guru kembali pada pola hafalan cepat.
Meski begitu, peluang tetap terbuka lebar. Teknologi dapat digunakan untuk melatih regulasi diri, misalnya lewat aplikasi belajar yang menyediakan umpan balik langsung. Asesmen formatif juga bisa menjadi sarana refleksi berkelanjutan. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, Kurikulum Merdeka bisa menjadi momentum untuk mengintegrasikan SRL dalam sistem pendidikan Indonesia.