Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, pendidikan tidak lagi hanya berorientasi pada aspek akademik dan keterampilan teknis semata. Dunia yang semakin terhubung dan kompetitif menuntut individu untuk tidak hanya memiliki kecerdasan kognitif, tetapi juga kebijaksanaan dalam mengambil keputusan dan ketahanan moral dalam menghadapi berbagai tantangan. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan dimensi spiritual ke dalam sistem pendidikan guna menciptakan individu yang tidak hanya unggul dalam kecerdasan intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral dan kebijaksanaan sosial.
Penelitian terbaru dalam bidang pendidikan menunjukkan bahwa spiritualitas berkontribusi terhadap kesejahteraan mental dan sosial peserta didik. Individu yang memiliki dimensi spiritual yang kuat cenderung lebih resilien dalam menghadapi tekanan hidup, lebih empatik terhadap sesama, dan memiliki kontrol diri yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan yang hanya menekankan aspek pragmatis dan pencapaian akademik semata tanpa membangun fondasi spiritual berisiko menghasilkan individu yang kurang memiliki kesadaran moral dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.
Spiritualitas dalam Pendidikan: Perspektif Filosofis Postmodern
Dalam tradisi pemikiran postmodern, filsuf seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik sistem pendidikan modern yang terlalu menekankan rasionalitas instrumental dan cenderung mengabaikan dimensi subjektif manusia, termasuk spiritualitas. Foucault, dalam analisisnya tentang kekuasaan dan pengetahuan, menunjukkan bagaimana sistem pendidikan sering kali menjadi alat kontrol sosial yang membentuk individu sesuai dengan norma yang berlaku, tanpa memberikan ruang bagi refleksi mendalam tentang makna hidup dan keberadaan.
Jacques Derrida, dengan konsep dekonstruksinya, menyoroti pentingnya mempertanyakan kembali struktur dan asumsi yang mendasari sistem pendidikan. Pendidikan yang berorientasi pada spiritualitas seharusnya tidak hanya mengajarkan dogma atau nilai moral tertentu, tetapi juga memberikan ruang bagi peserta didik untuk secara kritis merefleksikan pengalaman hidupnya dan menemukan makna eksistensial yang lebih dalam. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi sarana pembebasan yang memungkinkan individu untuk menjalani hidup dengan kesadaran penuh dan tanggung jawab moral yang kuat.
Mengapa Spiritualitas Sering Terpinggirkan dalam Sistem Pendidikan?
Dalam sistem pendidikan modern, sering kali ada kecenderungan untuk menekankan aspek kognitif dan akademik, sementara dimensi spiritual cenderung diabaikan. Hal ini dipengaruhi oleh paradigma pendidikan yang semakin pragmatis, di mana keberhasilan diukur berdasarkan pencapaian akademik dan kesiapan kerja. Sistem pendidikan saat ini lebih menitikberatkan pada aspek kuantitatif seperti nilai ujian, peringkat sekolah, dan persaingan akademik, yang sering kali mengabaikan pengembangan karakter dan kebijaksanaan moral.
Jika kita menengok sejarah, banyak pemikir besar dalam dunia pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan yang holistik, mencakup aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukan hanya tentang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membangun karakter yang kuat dan kepribadian yang seimbang. Namun, dalam praktiknya, sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung lebih menekankan pada aspek akademik, sehingga pendidikan berbasis nilai dan spiritualitas sering kali terpinggirkan.
Spiritualitas dan Pembentukan Karakter dalam Pendidikan
Dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, ada upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai spiritual melalui Pendidikan Karakter yang diperkenalkan dalam Kurikulum Merdeka. Namun, penerapannya masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal metodologi dan evaluasi. Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana kita bisa menilai perkembangan spiritual seseorang? Apakah spiritualitas hanya sebatas pengajaran moral, atau lebih dari itu?
Pendidikan berbasis spiritualitas seharusnya tidak hanya mengajarkan tentang benar dan salah, tetapi juga membentuk cara pandang peserta didik dalam menjalani kehidupan. Hal ini selaras dengan pandangan Jean-Franois Lyotard yang mengkritik narasi besar (grand narratives) dalam pendidikan modern. Lyotard menekankan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya bersandar pada standar moral yang seragam, tetapi juga memberi ruang bagi pluralitas perspektif dan pengalaman individu. Dalam masyarakat Indonesia yang masih menghadapi berbagai tantangan sosial seperti intoleransi, korupsi, dan degradasi moral, pendidikan yang berbasis spiritualitas bisa menjadi salah satu solusi untuk membangun karakter bangsa yang lebih baik.