Mohon tunggu...
choirul
choirul Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya seorang mahasiswa Sistem Informasi yang gemar mengamati persimpangan antara teknologi, bisnis, dan masyarakat. Dengan latar belakang yang menjembatani dunia teknis dan non-teknis, saya sering menganalisis bagaimana sebuah tren teknologi dapat membentuk masa depan. Artikel ini adalah bagian dari refleksinya tentang Teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Revolusi AI Sebagai Pemicu Demam Uranium: Bagaimana Peran Artificial Intellgence Mendorong Bangkitnya Energi Nuklir di Amerika Serikat

16 Juni 2025   17:08 Diperbarui: 16 Juni 2025   17:08 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Perubahan besar di dunia AI saat ini telah menyebabkan munculnya tambang uranium yang berada di Amerika. Sebagai pelajar yang tengah meneliti pengaruh teknologi ke energi, kejadian ini begitu menarik untuk dipelajari. Ini menunjukkan bagaimana teknologi mampu mendorong bangkitnya lagi bidang yang dulu hampir mati. Dikarenakan pusat data AI membutuhkan sangat banyak energi, perusahaan teknologi multi internasional seperti Amazon, Google, Meta, dan Microsoft mencari solusi dengan mengenakan energi nuklir. Hal ini menjadi latar belakang bisnis uranium di Amerika Serikat kembali merajalela.

Pada masa sebelumnya, Amerika pernah menjadi nomor satu produksi uranium sejak tahun 1950 hingga 1980, karena adanya bantuan dan disokong oleh pemerintah melalui finansial dan subsidi khusus. Tetapi, pada tahun 1990-an, masyarakat Amerika menjadi kurang peduli terhadap uranium, dikarenakan adanya tragedi besar layaknya Fukushima pada tahun 2011, yang menyebabkan masyarakat takut terhadap tenaga nuklir dan harga uranium merosot. Alhasil, banyak perusahaan uranium di Amerika menutup tambangnya.

Berdasarkan data dari pemerintah, kini Amerika Serikat membeli lebih dari 95% uranium yang dimanfaatkan untuk menjalankan 94 reaktor nuklirnya. Ini sungguh ciptaan tidak wajar dalam aturan energi dalam negeri, saat Amerika Serikat mengutamakan tenaga nuklir (20% dari energi total) namun mengabaikan uranium yang merupakan sumber tenaga dari nuklir itu sendiri.

Apabila ingin mengetahui motif kenapa Amerika sangat butuh uranium daripada negara lain, penting sekali untuk memahami lima tahap utama dalam mengubah uranium kasar menjadi bahan bakar reaktor. Awalnya, uranium diambil dari tanah dengan cara menambang biasa atau menambang langsung di tempat. Lalu, diolah di pabrik menjadi bubuk dengan warna kuning yang biasa disebut yellowcake. Selanjutnya, diolah di tempat khusus menjadi gas. selanjutnya, dilakukan pengayaan untuk meningkatkan konsentrasi isotop uranium-235. Kelima, fabrikasi menjadi pelet bahan bakar untuk reaktor.

AS memang sangat bergantung pada negara lain mengenai masalah ini. Sekarang hanya ada satu pabrik pengolahan di Metropolis, Illinois, sedangkan China dan Rusia menguasai 60% pengayaan di seluruh dunia. Hal ini menjadi masalah keamanan negara dikarenakan uranium olahan dapat dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan reaktor nuklir.

Pertambangan uranium lokal mulai sedikit demi sedikit melonjak lagi. Hasil uranium Amerika mulai sedikit membaik pada tahun 2024 menjadi 676. 939 pon, paling banyak sejak tahun 2018. Harga uranium ikut melonjak lebih dari 75% tahun ini, meski sempat kembali menurun sedikit dari harga tertinggi di awal 2024.

Dukungan pemerintah guna kembali menghidupkan pabrik uranium telah disetujui banyak pihak. Presiden Trump dulu meminta anggaran sebesar 1,5 miliar dolar terhadap Kongres agar pabrik uranium kembali bangkit dan guna simpanan penting. Lalu, Presiden Biden berhenti membeli uranium dari Rusia pada tahun 2024 dan memberi kesempatan pendanaan sebesar 2,7 miliar dolar dari negara yang tujuannya memperkaya produksi uranium dalam negeri.

Namun, AS kembali membeli uranium Rusia dengan cara yang unik hingga awal 2028. Anehnya, uranium bebas dari tarif besar oleh Trump di April 2025. Ini menunjukkan AS sangat butuh bahan ini.

Energy Fuels, yang ada di Arizona dan Utah, adalah contoh perusahaan yang ikut merasakan momentum ini. Perusahaan ini menjalankan tiga tambang uranium dan satu-satunya pabrik uranium biasa di Amerika Serikat. Mereka mengubah bijih menjadi yellowcake dengan cara dihancurkan, digiling, dan direndam. Energy Fuels memiliki kontrak jangka panjang hingga 2030 dengan harga $80 per pon, dan berencana meningkatkan produksi dari 1,4 juta pon menjadi 6 juta pon per tahun dalam 5-10 tahun ke depan. 

Di Wyoming, pada Ur-Energy telah menjalankan tambang Lost Creek dengan cara in-situ recovery(pemulihan di tempat). Sempat berhenti dikarenakan harga jatuh, mereka mulai memproduksi kembali di tahun 2022. Dengan proyek Shirley Basin, mereka hendak menaikkan hasil dari 1,2 juta jadi 2,2 juta pon tiap tahun. Kedua pihak lebih memilih kontrak jangka panjang daripada pasar bebas agar lebih stabil.

Meskipun outlook positif, industri uranium Amerika Serikat menghadapi beberapa tantangan signifikan. Pertama, permintaan global uranium diproyeksikan hampir berlipat ganda pada 2040 mendatang, namun penambang uranium global belum mampu memenuhi permintaan. Dibutuhkan bertahun-tahun dari penemuan hingga produksi, sehingga gap supply-demand akan berlangsung lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun