Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah salah satu masalah sosial yang mendalam dan
mempengaruhi banyak keluarga di Indonesia. KDRT mencakup segala bentuk kekerasan yang
dilakukan oleh salah satu pasangan terhadap pasangannya dalam hubungan rumah tangga. Bentuk kekerasan ini bisa berupa kekerasan fisik, emosional, seksual, maupun ekonomi. Meskipun sering dianggap sebagai masalah pribadi, KDRT memiliki dampak luas yang dapat merusak individu, keluarga, bahkan masyarakat. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah
serius di Indonesia. Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa tahun 2024, telah terjadi total 28.789 kasus kekerasan. Dari total kasus
tersebut, mayoritas korban adalah perempuan dengan 24.973 kasus. Sedangkan korban laki- laki berada di angka 3.816 kasus. Angka kasus kekerasan di Indonesia tahun 2024 terpantau meningkat
cukup tinggi dibanding tahun 2023 dengan total 18.466 kasus (Abdurohman, 2024). Lebih Kemam PPPA menjelaskan bahwa KDRT menjadi jenis kasus kekerasan tertinggi dalam kelompok
kasus jumlah korban berdasarkan tempat kejadian. Terdapat 19.045 kasus KDRT yang dilaporkan
sepanjang tahun 2024 (Abdurohman, 2024). Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan
bahwa jumlah kasus perceraian karena faktor KDRT di Indonesia tahun 2023 mencapai 5.174 kasus
(Rabbani, 2024). Data di atas secara umum menjadi gambaran bahwa Indonesia darurat kasus KDRT
sehingga perlu mendapatkan penanganan serius.
Jenis-jenis Kekerasan dalam Rumah Tangga
KDRT bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Kekerasan fisik, seperti pemukulan dan penyiksaan,
merupakan bentuk yang paling terlihat dan seringkali langsung berdampak pada kesehatan fisik
korban. Kekerasan emosional atau psikologis, seperti penghinaan, ancaman, dan manipulasi, dapat
meninggalkan luka yang lebih dalam pada kesehatan mental korban. Kekerasan seksual melibatkan
tindakan pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan, sementara kekerasan ekonomi terjadi ketika
salah satu pasangan mengontrol sumber daya finansial dan membatasi kebebasan ekonomi korban.
Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
KDRT sering kali dipicu oleh berbagai faktor, termasuk ketidaksetaraan kekuasaan dalam rumah tangga, masalah kecanduan alkohol atau obat-obatan, serta norma budaya yang membenarkan tindakan kekerasan dalam menjaga kehormatan keluarga. Selain itu, pengaruh pola asuh yang buruk
dan pengalaman traumatis masa kecil juga dapat menjadi faktor pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Tidak dipungkiri bahwa budaya patriaki turut berkontribusi dalam memicu KDRT. Dalam masyarakat patriaki, laki-laki sering kali diposisikan sebagai pihak superior, sedangkan perempuan dianggap lebih rendah. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan gender yang menormalisasi kekerasan
karena laki-laki dianggap memiliki hak lebih besar dalam menentukan aturan rumah tangga (Sugiarti,
2024). Dengan ketidakberdayaan posisi perempuan dalam budaya patriaki, maka secara tidak langsung
akan memengaruhi pelaporan, penanganan, serta pemulihan korban KDRT karena korban menjaditakut dan enggan untuk melapor sehingga kasus KDRT akan terus terulang.
1. Perselingkuhan
Perselingkuhan merupakan salah satu faktor yang paling sering mendorong untuk terjadinya KDRT di
Indonesia. Perselingkuhan terjadi karena adanya hubungan antara suami atau istri terhadap orang ke
tiga di dalam sebuah hubungan. Dari data yang ada menyajikan bahwa jika seorang suami selingkuh
maka perempuan atau istrinya beresiko 1.34 kali lebih besar akan mengalami kekerasan fisik dana tau
kekerasan seksual dibandingkan dengan perempuan atau istri yang suaminya tidak berselingkuh.
2. Masalah Ekonomi
Faktor selanjutnya adalah faktor dari masalah ekonomi. Hak serta nafkah erupakan hak yang dimiliki
oleh seorang istri dan anak. Jika hak ini tidak di berikan, maka akan timbul berupa kekerasan ekonomi.
Dari data yang disajikan menjelaskan bahwa bagi istri yang memiliki suami pengangguran memiliki
resiko akan mengalami kekerasan sebesar 1,36 lebih tinggi dibandingkan dengan istri yang memiliki
suami sebagai pekerja.
3. Budaya Patriarki
Budaya patriarki juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT. Patriarki
mengerucut pada pemberian kuasa kepada ayah atau laki-laki sebagai penguasa keluarga. Di dalam
konteks lain, hal ini menyebabkan perembuan merasa lemah dan ketergantungan dengan suami.
4. Campur tangan keluarga
Campur tangan keluarga terutama dari pihak suami juga cukup sering menjadi faktor penyebab
terjadinya KDRT. Terlibatnya sebuah keluarga dalam urusan dalam perkawinan dapat menciptakan
konflik antara hubungan suammi-istri.
5. Judi Online
Di masa sekarang ini judi online merupakan salah satu trend yang masih sangat ramai dan banyak
peminatnya. Tidak hanya anak muda, tak sedikit juga seorang suami yang melakukan aktifitas judi
online ini. Praktik ini sering kali menyebabkan masalah keuangan dan juga mengakibatkan tekanan
finansial yang akhirnya mengarah pada KDRT.
Selain judi online, alkoholisme juga menjadi faktor selanjutnya yang menyebabkan banyak terjadinya
KDRT, kebanyakan suami di dalam pengaruh alcohol sehingga bisa melakukan tindak kekerasan
dalam rumah tangga kepada istri maupun anak.
7. Narkotika
Pecandu dan atau pengguna narkotika juga menjadi salah satu faktor yang sangat signifikan dalam
terjadinya sebuah KDRT. Pasangan yang menjadi pengguna narkotika juga dapat mengalami
kekerasan dan dapat merubah prilaku secara drastis
8. Perbedaan prinsip
Perbedaan pinsip juga dapat menjadi pemicu terjadinya KDRT. Walaupun pasangan sudah bersatu
dengan adanya ikatan pernikahan, tetapi perbedaan pendapat dan cara padang masih dapat
menciptakan kesenjangan.
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dampak KDRT sangat merusak, tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi anak-anak yang
hidup dalam lingkungan penuh kekerasan. Korban kekerasan fisik bisa mengalami cedera
serius, bahkan trauma yang dapat berlanjut hingga dewasa. Sementara itu, kekerasan
psikologis dan emosional sering kali menyebabkan depresi, kecemasan, dan gangguan mental
lainnya. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang penuh kekerasan cenderung meniru
perilaku tersebut di masa depan.
Anak-anak dalam keluarga yang dipenuhi kekerasan adalah anak yang rentan dan berada
dalam bahaya, karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
-Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anak.
- Perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidup dapat mengarahkan
kemarahan dan frustrasi pada anak.
- Anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan
melindungi ibunya.
- Anak akan sulit mengembangkan perasaan tenteram, ketenangan dan kasih sayang.
Hidupnya selalu diwarnai kebingungan, ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan
ketidakjelasan tentang masa depan. Mereka tidak belajar bagaimana mencintai secara tulus,
serta menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan cara yang sehat.
- Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara
penyelesaian masalah yang wajar, boleh, bahkan mungkin seharusnya dilakukan. Anak lelaki
dapat berkembang menjadi lelaki dewasa yang juga menganiaya istri dan anaknya, dan anak
perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban
kekerasan. Anak perempuan dapat pula mengembangkan kebiasaan agresi dalam
menyelesaikan masalah.
Pasal yang mengatur tentang KDRT
Apabila kekerasan dalam rumah tangga terjadi di masyarakat, dapat dilakukan upaya hukum
berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
mengatur bahwa setiap korban dapat memberikan kuasa kepada anggota keluarga atau orang lain, baik
di rumah korban maupun di rumah korban. tempat tinggal dan tempat kejadian perkara, sehingga
memungkinkan mereka untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada penegak hukum,
khususnya polisi. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, wali, pengasuh, orang
tua, bahkan korban sendiri, jika korban masih di bawah umur, boleh melakukan proses pelaporan.
Pasal yang mengatur tentang KDRT di Indonesia adalah Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang
yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling
lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 15 miliar rupiah. Selain itu, Pasal 5 ayat (1) UU tersebut
juga menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga, termasuk hak untuk mendapatkan pengamanan, perlindungan, dan penanganan yang cepat dan
tepat dari aparat penegak hukum serta lembaga yang berwenang.Undang- Undang Penghapusan
KDRT memberikan landasan hukum yang kuat yang menjadikan KDRT yang awalnya urusan rumah
tangga menjadi urusan negara. Untuk melindungi hak-hak korban kekerasan, khususnya perempuan,
disahkanlah Undang-Undang.Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Selain itu, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan rumah tangga seseorang, khususnya
yang sebelumnya sepenuhnya berada di luar jangkauan hukum pidana, secara tidak langsung juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Dengan menerapkan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
pemerintah telah menerapkan gagasan keadilan. Hal ini terlihat dengan melihat ketentuan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengatur
tentang perlindungan hak-hak korban.
Solusi dan Penanganan
Pencegahan dan penanganan KDRT membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, dimulai dari
pendidikan masyarakat tentang dampak kekerasan dan pentingnya hubungan yang sehat. Perlindungan
hukum juga perlu diperkuat, dengan memberikan akses mudah bagi korban untuk melapor dan
mendapatkan bantuan. Program perlindungan bagi korban dan terapi psikologis juga sangat penting
untuk membantu mereka pulih dari trauma. KDRT bukanlah masalah pribadi yang bisa diselesaikan
sendiri, tetapi merupakan tanggung jawab bersama untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari
kekerasan dan penuh kasih sayang.Pencegahan KDRT memerlukan partisipasi aktif dari semua
lapisan masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
1. Meningkatkan Kesadaran
Pendidikan Sejak Dini: Penting untuk memberikan edukasi tentang kesetaraan gender
dan hubungan yang sehat sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.
Kampanye dan Sosialisasi: Media massa dan kegiatan komunitas dapat menjadi
sarana efektif untuk menyebarkan informasi tentang bahaya KDRT dan pentingnya
pencegahan.
Terbuka dan Jujur: Pasangan perlu terbuka dalam mengungkapkan perasaan dan
pikiran mereka, serta membangun komunikasi yang transparan.
Mendengarkan Tanpa Menghakimi: Memberikan waktu dan perhatian untuk
mendengarkan pasangan tanpa menghakimi sangat penting dalam menjaga hubungan yang
sehat.
Menghormati Satu Sama Lain: Respek terhadap pendapat dan perasaan pasangan
merupakan kunci utama dalam menciptakan hubungan yang harmonis.
3. Mengelola Konflik dengan Sehat
Mengontrol Emosi: Mengambil waktu untuk menenangkan diri sebelum menghadapi
konflik dapat mencegah terjadinya kekerasan.
Fokus pada Solusi: Alih-alih menyalahkan pasangan, fokuslah pada mencari solusi
yang dapat menyelesaikan masalah dengan cara yang konstruktif.
Mencari Bantuan Profesional: Jangan ragu untuk mencari bantuan dari konselor atau
psikolog jika konflik sulit untuk diselesaikan sendiri.
4. Menciptakan Lingkungan yang Mendukung
Dukungan Sosial: Jaringan dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas sangat
penting dalam mencegah dan menangani kasus KDRT.
Bantuan Profesional: Jika mengalami kekerasan, segera mencari bantuan dari
lembaga yang berwenang, seperti lembaga perlindungan perempuan atau kepolisian.
5. Mengadvokasi Perubahan Kebijakan
Penegakan Hukum yang Tegas: Pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap
pelaku KDRT agar memberikan efek jera dan melindungi korban.
Perlindungan Korban: Menyediakan layanan yang komprehensif untuk perlindungan
dan pemulihan korban KDRT, termasuk layanan medis, psikologis, dan hukum
Untuk benar-benar mengatasinya, kita semua harus bergerak bareng, mulai dari pemerintah,
organisasi, sampai masyarakat. Edukasi tentang KDRT, pemberdayaan korban, dan tempat
perlindungan yang aman harus jadi prioritas. Kalau kita semua peduli dan saling dukung, pasti KDRT
bisa diminimalisir. Y uk, mulai sekarang lebih peka dan nggak diam aja, karena setiap orang punya
peran untuk buat lingkungan yang lebih aman dan sehat. Kalau bukan kita, siapa lagi?
DAFTAR PUSTAKA
https://journal-stiayappimakassar.ac.id/index.php/Birokrasi/article/download/749/777/2077?utm
https://an-nur.ac.id/cara-mencegah-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt/
https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info
_
singkat/Info%20Singkat-XVII-1-I-P3DI-Januari-2025-
214.pdf
https://jurnal.ranahresearch.com/index.php/R2J/article/download/1292/1141/?utm
https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-
kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt?utm
https://www.rri.co.id/kesehatan/245231/jenis-jenis-kdrt-yang-harus-diketahui