"Tidak ada lokasi tangkap ikan yang tersisa. Industri tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekitar, apalagi nelayan," katanya.
Ia mengingat, puluhan perusahaan telah mengambil alih mata pencaharian yang diwariskan turun-temurun. Reklamasi, dermaga, dan proyek-proyek kawasan bisnis terus meluas, sementara nelayan kehilangan ruang hidup.
"Minimal kalau Lebaran ada sembako atau hewan kurban yang dibagikan ke nelayan," ujarnya.
Kompensasi yang dijanjikan, kata Mastari, hampir tak pernah sampai. Tidak ada program pemberdayaan, pelatihan keterampilan, atau skema perlindungan sosial bagi nelayan yang kehilangan penghasilan.
Bojonegara yang dulu dikenal sebagai salah satu pesisir dengan tangkapan ikan melimpah di Banten, kini kehilangan denting riak ombaknya. Suara deburan laut tergantikan dentuman mesin industri dan klakson kapal tongkang.
Perluasan industri memang menciptakan daratan baru, infrastruktur megah, dan geliat bisnis. Namun di sisi lain, ia memotong nadi kehidupan nelayan.
Tak ada yang tahu kapan reklamasi akan berhenti. Bagi Samun dan Mastari, waktu terasa seperti gelombang yang terus mengikis tepi perahu mereka.
"Kalau laut sudah tidak memberi, kami mau kerja apa?" tanya Mastari. Di Bojonegara, pertanyaan itu menggantung di udara, sama beratnya dengan kabut debu dari gunung yang terus dikeruk, serta kerinduan pada deburan ombak di halaman rumah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI