Kamis, 20 Februari 2025, di sebuah kafe kecil di sudut Kota Cilegon, aroma kopi hitam bercampur dengan suara mesin espresso yang berdengung pelan. Asap tipis mengepul dari cangkir-cangkir di meja kayu yang sedikit usang, sementara lampu temaram memberi kesan hangat di tengah obrolan serius para pengunjung.
Di sudut ruangan, Cholis, aktivis lingkungan dari WALHI Jakarta, duduk di kursi dekat jendela besar yang sedikit berembun. Ia menyandarkan punggungnya, menyesap kopinya perlahan sebelum meletakkan cangkirnya dengan dentingan pelan di atas meja.Â
Dengan suara tegas, ia mempertanyakan, "PLTU Suralaya Unit 9-10 ini untuk apa? Pasokan listrik Jawa-Bali sudah oversupply, tapi tetap dibangun pembangkit baru? Yang sudah ada saja banyak tidak terpakai."
Beberapa pengunjung melirik sekilas ke arahnya, sebagian tetap sibuk dengan laptop dan ponsel mereka. Di luar, gerimis tipis membasahi trotoar, menambah nuansa mendalam dalam diskusi yang semakin memanas.Â
Isu PLTU Suralaya Unit 9-10 memang menjadi topik yang sulit dihindari, terutama bagi warga Cilegon yang hidup berdampingan dengan dampak dari industri energi berbasis batubara ini.
Ia menyesap kopinya perlahan, lalu melanjutkan. "Ini bukan sekadar soal listrik, tapi dampaknya pada manusia dan lingkungan."
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memang mengalami surplus listrik. Data dari PLN menunjukkan bahwa cadangan daya di sistem kelistrikan Jawa-Bali mencapai lebih dari 40%, jauh di atas batas ideal.
Sederhananya, ada lebih banyak listrik daripada yang dibutuhkan. Namun, alih-alih berinvestasi pada energi terbarukan, pemerintah justru tetap membangun PLTU baru.
Jika listrik berlebih, mengapa masih ada proyek PLTU Suralaya 9-10?Â
PLTU 9-10 sejak awal dipenuhi kontroversi. Selain pertanyaan soal urgensinya, proyek ini juga menyisakan luka bagi masyarakat sekitar.