Kita hidup di zaman ketika ilmu berkembang pesat, namun arah hidup manusia justru kian kabur. Pendidikan melahirkan banyak ilmuwan, tetapi sedikit yang berjiwa ulama. Di ruang-ruang akademik, kata “iman” sering dianggap tidak ilmiah; sementara di mimbar-mimbar keagamaan, ilmu dunia kerap dicurigai seolah membawa kesesatan. Padahal, dalam pandangan Islam, ilmu dan aqidah adalah dua sisi dari satu cahaya — yang jika dipisahkan, sama-sama padam.
Dikotomi antara “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat” adalah warisan keliru dari pandangan sekuler yang menyingkirkan Tuhan dari ruang belajar. Padahal, Islam sejak awal menolak pemisahan itu. Bagi Islam, meneliti bumi adalah bagian dari mengenal langit. Mempelajari hukum alam berarti membaca ayat-ayat Allah yang terserak di jagat raya. Di sinilah pentingnya mengintegrasikan ilmu dan aqidah: bukan sekadar untuk harmoni berpikir, tapi untuk memulihkan orientasi hidup manusia.
Ilmu sebagai Cahaya yang Menuntun Iman
Islam memandang ilmu bukan hasil ciptaan manusia, melainkan nur (cahaya) dari Allah. Cahaya ini hanya bermanfaat bila disertai niat dan arah yang benar. Allah berfirman:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
Perintah membaca ini bukan sekadar intelektual, melainkan spiritual. Artinya, setiap kegiatan belajar harus berawal dari kesadaran tauhid. Belajar tanpa menyebut nama Allah sama dengan berjalan tanpa arah. Karena itu, Rasulullah ﷺ berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” Ilmu yang sejati adalah yang menambah takut kepada Allah, bukan yang menjauhkan manusia dari-Nya.
Akal yang bekerja tanpa cahaya iman ibarat mata yang terbuka di ruang gelap. Ia dapat melihat bentuk, tapi tidak memahami makna. Sebaliknya, iman tanpa ilmu ibarat cahaya tanpa arah; terang, tapi tak menuntun langkah. Maka, integrasi ilmu dan aqidah adalah keharusan epistemologis dan spiritual.
Aqidah sebagai Kompas Ilmu
Aqidah bukan penghalang kebebasan berpikir, melainkan kompas moral agar ilmu tidak kehilangan arah. Ketika iman hadir dalam ilmu, pengetahuan menjadi sarana ibadah. Para ilmuwan muslim klasik memahami hal ini dengan mendalam. Mereka tidak meneliti alam demi prestise, tapi demi memahami kebesaran Sang Pencipta.
Imam Al-Ghazali menulis bahwa tujuan belajar adalah taqarrub ila Allah — mendekat kepada Allah. Karena itu, setiap disiplin ilmu dalam Islam punya nilai spiritual jika diarahkan untuk kemaslahatan dan ketaatan. Bahkan teknologi dan perdagangan pun menjadi ibadah jika diniatkan untuk menegakkan keadilan dan menolong sesama.