Mohon tunggu...
Mama Totik
Mama Totik Mohon Tunggu... Administrasi - Bincang Ringan di Ruang Imaji

Coffee - Books - Food - Movie - Music - Interior - Art - Special Parenting www.debiutilulistory.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Demi Ujian Nasional: Anakku 9 (Sembilan) Jam di Sekolah

9 Januari 2014   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13892576071293667506

[caption id="attachment_314833" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi Ujian Nasional./Admin (KOMPAS IMAGES/ANDREAN KRISTIANTO)"][/caption] Semester ini ada yang berubah dari keseharian keluarga kami. Jam 05.30 pagi, anakku sudah harus siap berangkat sekolah. Karena semester ini, pelajaran tidak lagi dari jam 07.00 pagi melainkan dimulai dari jam ke nol atau jam 06.00 pagi. Yang biasanya pulang jam 13.00, mulai semester ini menjadi jam 15.00. Atau saya hitung-hitung, dia 9 ( sembilan ) jam sehari di sekolah. Melebihi jam kerja orang kantoran yang biasanya hanya 7 jam dan anakku baru kelas 9 atau kelas 3 SMP !  Kenapa begitu ? Ya karena semester ini ada pelajaran tambahan dari sekolah dalam menghadapi Ujian Nasional, yang rencana digelar April nanti. Saya membayangkan, betapa bulan-bulan ini, seluruh keluarga di Indonesia yang anaknya akan mengikuti UN, memulai hari-hari penuh kerja keras. Bukan cuma si anak yang harus berangkat dengan masih terkantuk-kantuk, menjalani waktu belajar lebih lama, tapi juga bayangkan kerepotan bapak/ibu guru yang harus datang sangat awal dan pulang lebih telat. Saya yakin sekolah-sekolah lainpun melakukan hal yang sama. Mengapa ? Karena nilai UN jelek bukan saja jadi momok para siswa tetapi juga para guru dan sekolah. Ada memang sekolah-sekolah yang menyerahkan bimbingan belajar tambahan ke masing-masing anak, dan rata-rata memilih mengikuti bimbel di luar. Tapi tetap saja tak terbayangkan, betapa besarnya energi dan biaya yang semua tercurah untuk yang bernama Ujian Nasional. "Kalau nilai UN jelek, bapak ibu, maka yang pertama merasakan sedih adalah bapak ibu guru. Karena itu juga menunjukkan penilaian bagi kami, para pengajar", demikian yang pernah disampaikan kepala sekolah anakku. Guru wali kelas anakku bahkan berkata," Saya sering harus pulang hingga sore bu, karena saya sudah bertekad akan mengajari anak sampai mereka betul-betul paham dan bisa" Sedikit intermezzo... Karenanya saya bisa memahami pola pandang kepala sekolah yang sering beliau sampaikan, "Biarkan anak-anak itu sekolah dengan gembira, bermain, bergaul sepuasnya dengan teman-teman, pada semester 1 sampai semester 5. Biarkan saja, jangan dimarahi, tidak usah les, biar berjalan apa adanya. Mereka perlu menikmati benar-benar masa remaja. Waktu mereka untuk belajar keras adalah nanti, semester 6". Saya pikir benar juga. Bagaimanapun anak-anak usia SMP ini baru menginjak masa remaja, jika sejak awal dibebani dengan les yang ketat, mereka tidak akan punya kenangan indah masa remaja. Dan ketidak puasan itu akan berdampak pada saat mereka dewasa.  Suami saya pernah bilang, "Mahasiswa-mahasiswa baru sekarang ini rata-rata tukang melamun kalau di kuliah, ini gara-gara otak mereka sudah overloaded di SMA". Ya, seperti gelas yang diisi melebihi kapasitas, tumpah deh...nggak bisa diisi lagi. Recoverynya perlu waktu lama. Kembali ke masalah Ujian Nasional... Sewaktu sekolah dulu, saya juga mengalami yang namanya Ujian Nasional. Tapi ada perbedaan besar antara Ujian Nasional saat itu dan Ujian Nasional sekarang. Yang paling utama adalah materi UN. Sebagaimana mungkin diketahui oleh umum, bahwa bobot materi pelajaran sekarang sangat berat dan terlalu banyak. Dari segi bobot atau tingkat kedalaman materi, apa yang dipelajari di tingkat SMP adalah setara dengan yang saya dulu pelajari di tingkat SMA. Sementara dari segi banyaknya materi, maka jumlah konten yang dipelajari saat ini, saya lihat sangat banyak dan terlalu detail. Kadang saya berpikir, perlukah anak-anak ini mempelajari sebegitu rupa ? Toh mereka masih di sekolah umum. Kenapa hal-hal yang sifatnya detail tidak diberikan nanti saja saat kuliah, sesuai bidang yang mereka minati. Bukankah di sekolah umum, yang dianut adalah mengembangkan kecerdasan multipel, atau kecerdasan jamak ? Di mana setiap anak punya kecerdasan berbeda. Jadi rasanya cukuplah hal-hal dasar saja yang mereka pelajari. Tambahan bobot perlu disesuaikan dengan tingkatan usia dan tingkat kecerdasan. Bahkan yang tergolong cerdas sekalipun, belum tentu bisa meraih nilai bagus di semua mapel yang diujikan di UN. Kan yang suka matematika belum tentu suka english atau IPA ? Menteri Pendidikan M.Nuh harusnya meninjau kembali materi yang diberikan di sekolah. Jangan karena materi yang berat dan banyak, sekolah menjadi beban bagi anak-anak. Jika materinya wajar, saya kira tidak perlu lagi tambahan pelajaran hingga sembilan jam di sekolah. Akhirnya, saya perlu ucapkan terimakasih pada bapak ibu guru, yang semester ini harus jungkir balik mengatur waktu dan tenaga. Seumur hidup jasa bapak ibu guru ini tidak mungkin terlupakan. Saya ucapkan selamat berjuang untuk anak-anak calon peserta Ujian Nasional ! Semoga kelak sekolah-sekolah di Indonesia lebih bersahabat bagi anak-anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun