Belum lama ini, Kementerian Pemuda dan Olahraga (kemenpora) menyelenggarakan Lokakarya Dukungan Program Pengembangan Kewirausahaan Pemuda di Pesantren. Lokakarya tersebut diselenggarakan di Kudus, Jawa Tengah, yang notabene adalah kota santri.
Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora, Asrorun Ni'am Sholeh yang hadir dalam acara itu menegaskan santri dan jiwa dagang merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah Nahdhatul Ulama (NU)  adalah enterpreneurship. Sebelum NU dibentuk, organisasi yang didirikan adalah Nahdhatut Tujjar oleh Kiai Abdul Wahab Hasbullah pada 1912 di Tambak Beras, Jombang.
Hal ini yang kemudian melahirkan pergerakan kemandirian umat di bidang ekonomi. Pesantren telah membuktikan sebagai institusi keagamaan yang telah lama berdikari secara ekonomi, bahkan juga politik. Sejarah pesantren di Indonesia diwarnai dengan kemandirian ekonomi sehingga mampu melawan penjajahan yang diboncengi dengan kekuatan kapitalisme.
Pesantren tidak menggantungkan keberadaannya dari suplai logistik dari Pemerintah. Sampai saat ini, cukup banyak pesantren di daerah yang menolak bantuan Pemerintah, karena khawatir adanya driving dan pada akhirnya mempengaruhi independensi pesantren.
Dengan sejarah NU yang demikian, maka Kemenpora ingin mendorong para santri mengembangkan relijiupreuner yang intinya adalah enterpreneur berbasis pada ilmu yang dimiliki oleh kaum santri itu sendiri, yakni ilmu agama.
Kemenpora ini mendesain satu kelompok keagamaan yang secara profesional dicari oleh masyarakat perkotaan dengan di dalamnya ada konsep-konsep ekonomi. Bagi kaum santri sekarang istilah nya bukan lagi guru ngaji, tapi konsultan keagamaan.