Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ketika Ketidakterbukaan Memicu Persoalan Rumah Tangga

21 Agustus 2014   04:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:00 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408545041604175793

[caption id="attachment_354243" align="aligncenter" width="332" caption="Ilustrasi: Keluarga sederhana, meski dipenuhi persoalan kami tetap menjaganya agar selalu utuh hingga akhir hayat/ doc. pribadi"][/caption]

Tulisan ini bukan untuk menggurui lantaran pengalaman saya yang masih sedikit jika dibandingkan dengan pak Tjiptadinata Effendi, sosok kompasianer panutan saya. Akan tetapi sekedar berbagai pengalaman terhadap apa yang pernah kami rasakan dalam membangun mahligai rumah tangga, tentu saja karena dalam rumah tangga sering bermunculan persoalan-persoalan sebagai bumbu penyedap hubungan kami berdua.

Persoalan atau masalah hakekatnya merupakan bagian romantisme kehidupan. Sebuah kehidupan akan bernilai dan berharga jika dihiasi dengan masalah, lantaran dengan sebuah masalah, setiap orang akan berusaha mencari dan mencari solusi hingga mereka mampu melaluinya dengan jalan yang paling baik.

Begitupun persoalan yang hadir di antara pasangan suami-istri, atau yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan. Semua tentu akan menemukan solusi manakala kedua sisi yang saling bermasalah mau membuka diri dan menyelesaikannya dengan jalan terbaik. Tidak ada egoisme dan merasa paling benar. Dan tentu saja keputusan akhirnya tentu akan memuaskan kedua belah pihak. Mengakhiri beribu konflik batin dan prasangka yang menjadi pemicu sebuah persoalan lain yang juga dampaknya lebih masif.

Sebagaimana tulisan tentang kisah seorang TKI yang tanpa sepengetahuan suaminya rela mengakhiri hidupnya lantaran malu dengan apa yang dialaminya. Ia seolah-olah mengorbankan dirinya demi kebahagiaan suaminya. Padahal kebahagiaan juga dapat diperoleh tanpa mengorbankan salah satu pihak, apalagi dengan mengorbankan nyawa. Suami tak pernah menyadari apa yang dialami istrinya lantaran sang istri tidak terbuka kepada suaminya lantaran merasa malu dengan apa yang dirasakannya saat itu.

Tidak hanya persoalan yang menyangkut urusan rumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan pun akan menjadi penyebab timbulnya prasangka (syu'udzon) kalau khusnudzon sih masih mending. Tapi kalau sudah syu'udzon (berprasangka buruk) maka kedua belah pihak justru mendapatkan mudharatnya. Padahal prasangka tersebut dapat diantisipasi atau dicegah tatkala setiap orang bisa terbuka. Kecuali pada hal-hal yang privacy atau urusan pribadi yang tak patut pula diumbar di hadapan orang banyak.

Urusan sosial misalnya, dalam mengelola keuangan desa, tentu saja ada sistem musyawarah masyarakat desa yang berisi oleh beberapa tokoh masyarakat desa itu sendiri. Tentu saja dengan melibatkan perwakilan dari unsur masyarakat persoalan tentang keuangan desa maupun masyarakat pun akan dikupas tuntas. Bahkan jika persoalan keuangan tersebut ternyata menemui kata pailit atau nombok dengan alasan yang tidak diduga, maka semua perwakilan masyarakat akan tahu dengan gamblang penyebab pesoalan tersebut. Tentu akan ada jalan keluar atau paling tidak masyarakat akan memaklumi dengan tidak menuntut macam-macam.

Berbeda urusannya jika setiap hal terkait keuangan desa tidak dimusyawarahkan, tentu dampaknya masyarakat dan perwakilan desa pun akan menuduh yang bukan-bukan. Beruntung jika tidak terjadi tindakan anarkisme, jika masyarakat tersulut amarah maka dampaknya akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan di desa.

Tidak hanya di desa, dalam institusi pendidikan pun ada mekanisme musyawarah yang melibatkan kepala sekolah, komite dan perwakilan tokoh masyarakat. Tentu saja tujuannya agar ruang keterbukaan dan saling memahami terkait persoalan pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan keuangan sekolah.

Lalu, apakah segalanya harus terbuka? Tentu saja semestinya harus dibuka selebar-lebarnya. Tanpa harus disimpan sendiri. Dampaknya mencegah timbulnya tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.

Terkait keterbukaan informasi, dalam rumah tangga kira-kira apa sih yang semestinya harus saling terbuka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun