Mohon tunggu...
Maria Lalita
Maria Lalita Mohon Tunggu... -

iRead. iWrite. iShare.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penindasan di Dalam Organisasi Anti Penindasan

25 Agustus 2017   16:30 Diperbarui: 25 Agustus 2017   17:55 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.fkip.pmii-unila.org

Oleh: Lalita*

"Lihat. Aku mengutus kamu, seperti domba di tengah-tengah serigala."

-Yesus.

Malangnya nasib Yesus Kristus dalam nasib pengembaraannya. Pada akhir hayat sang nabi, Yesus terpaksa harus melawan penindasan terhadap dirinya seorang diri. Petrus, murid yang paling dipercaya oleh Yesus dan Yohanes sebagai yang dikasihi-Nya menjadi diam ketika Sang Rabi pada akhirnya menjadi sosok yang terbuang, dipukul dan ditendang sampai berakhir di kayu salib.

Sebenarnya, tak perlu jauh-jauh kita berbicara mengenai penindasan atas sesama manusia. Sukarno, bila kita ingat, pada akhir hayatnya, sang proklamator harus berjuang sendirian---sakit-sakitan---sampai mati, ketika kawan-kawannya kabur entah ke mana sembari membawa semboyan 'Persahabatan dan Sesama Kawan Perjuangan' yang semakin meredup, seiring berhembusnya api terakhir Sukarno sebagai Sang Penyambung Lidah Rakyat. Pun kita tak boleh lupa kepada Tan Malaka, yang pada saat ini, suaranya terdengar jauh, jauh dan jauh, namun menorehkan ironi bagi kita yang membaca biografinya, yang penuh dengan lika-liku dengan bagian yang paling menarik: berjuang, terbentur dan terbentuk sendirian.

Bercermin pada apa yang pernah terjadi kepada Yesus, Sukarno dan Tan Malaka, tulisan ini akhirnya dibuat dan diharapkan sampai pada setiap hati pembaca semuanya; bahwa sebenarnya anti-penindasan adalah suatu omong kosong belaka. Opini tersebut bukanlah dibangun tanpa alasan yang jelas, melainkan dibangun oleh karena berbagai pengalaman yang terbentuk dari suatu organisasi yang pernah saya ikuti dan menunjukan kepada saya bahwa opini yang telah saya tulis di atas bukanlah tanpa dasar. Argumentasi ini muncul setelah satu tahun saya menjalani perjalanan sebagai seorang anggota organisasi gerakan yang selama ini mendengung-dengungkan anti penindasan sebagai semboyannya. Tiap-tiap hari bahkan tiap-tiap detik, kami berbicara seputar penindasan dan penghisapan, eksploitasi atas manusia dan kemiskinan. Kami selalu berbicara tentang perlawanan terhadap ketidak-adilan, tentang keangkuhan korporat -korporat terhadap 'mereka yang dianggap tertindas dan ditinggalkan.'

Melalui segala bentuk percakapan dan diskusi yang pernah kami lewati, saya sendiri pun sebenarnya tengah membentuk sebuah kontemplasi; dengan melihat berbagai peristiwa dan fenomena di sekitar saya, di mana penindasan sendiri sebenarnya terjadi di dalam tubuh setiap orang yang duduk bersama-sama dengan saya dan sibuk menuangkan pikiran mereka. Bagaimana demikian? Sebelum dijelaskan, maka perlu diketahui bahwa kursi jabatan merupakan hal yang sangat penting di dalam organisasi saya. Sebenarnya, bukan hanya kursi jabatan saja yang penting di dalam organisasi ini, tetapi juga pengakuan dan kehormatan. Argumentasi tersebut bukanlah semata-mata dibentuk dari alasan subjektif. Saya membangunnya dari berbagai macam fenomena yang terjadi dan selalu saya saksikan sendiri. Saya menyaksikan bagaimana kawan-kawan saya mengkhianati persahabatan demi menduduki singgasana kekuasaan, di mana mereka menjadi buta-mendadak, menyerang siapapun yang tak sepaham dengan mereka dan mendadak menjadi sosok penindas itu sendiri.

Di dalam organisasi ini, saya menyadari bahwa kami sebenarnya tak pernah selesai dengan pembahasan kami mengenai penindasan, karena kami pun sebenarnya bagian dari sang penindas itu sendiri. Secara tak sadar kami telah mengadopsi ilmu yang diwariskan oleh para korporat-korporat yang secara munafik kami tampik adanya dan tak berani untuk mengakuinya. Ketika diskusi anti penindasan selesai, pada akhirnya kami berbicara mengenai basis politik untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Barangsiapa tak memiliki basis di dalam organisasi atau memutuskan untuk tidak berpihak pada basis siapapun, maka ia hanya tampil sebagai sesuatu yang tak berguna, tak bermanfaat bahkan tiada lebih berharga dari sekedar sampah. Ketika menulis ini, saya tertawa. Ini menjadi sebuah ironi. Di mana kami berbicara anti penindasan, tetapi kami membuang orang-orang yang kami anggap tiada berguna bagi kepentingan kami.

Ketika tulisan ini dimuat dalam kolom wordpress saya, saya meyakini bahwa dari setiap orang yang berseberangan dari saya mengatakan: kami sudah memberi mereka makan waktu lapar, sudah memberi mereka obat waktu sakit dan kami memberi tumpangan pada orang yang mengetuk pintu, lalu apa masalahnya?

Maka pertanyaan itu akan terdengar sangat menggelikan.

Maksudnya, apa beda kita dari kapitalis---yang katanya harus kita hancurkan---ketika kita berseru-seru memberi makan tapi masih berada dalam pusaran kepentingan dengan memanfaatkan kaum-kaum yang mengharapkan makan? Memberi makan di dalam organisasi ini, yang saya ketahui, sama dengan berbicara mengenai untung dan rugi. Apa yang tampak bukanlah suatu benda yang berwujud, melainkan kebaikan yang nilainya ditentukan masing-masing oleh setiap orang yang menerimanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun