A Guide Book To Be Stoic, buku yang ditulis oleh D. Tri Utami & Nilli Andriyani. Buku ini berisi tentang kiat-kiat bagaimana seorang Stoic menjalani arus kehidupan. Mulai dari bagaimana seharusnya ia menyikapi setiap peristiwa/masalah yang terjadi, menjelaskan pentingnya menjalani kehidupan dengan baik, memberi contoh aplikatif dalam penyelesaian masalah, serta menjelaskan apa yang menjadi tugas kita dalam kehidupan menurut paham stoikisme, namun semua dijabarkan tentu dengan terlebih dahulu mengenalkan asal-usul stoikisme dalam bahasa yang sederhana dan pragmatis.
Mengapa saya memilih buku ini?
Sebenarnya tidak ada alasan khusus untuk satu hal ini, juga bukan karena relevan dengan PR#5: Membaca Buku. Buku ini sudah sampai pada urutannya untuk dibaca berdasarkan booklist yang saya rencanakan di awal bulan September. Sampai tulisan ini dibuat, sebenarnya saya belum selesai membaca tetapi untuk bisa menjawab PR #5 saya rasa sudah memiliki materinya.
Buku ini banyak sekali menuliskan kisah yang berkaitan dengan perilaku dan cara hidup seorang Stoic. James Stockdale, seorang tentara AS yang  dilibatkan selama Perang Vietnam tertembak kemudian ditangkap. Ia menjalani kehidupan dalam pengurungan dan penyiksaan. Berbagai upaya dilakukan untuk bisa terbebas dan pulang ke Amerika. Sejak awal penangkapan, Stockdale memahami apa yang bisa dan tidak bisa ia lakukan dalam penjara nanti (dikotomi kontrol, prinsip dasar seorang Stoic). Stokdale berpikir, mereka (tentara Vietnam) mungkin bisa melumpuhkan kakinya tetapi tidak dengan kehendaknya. Stokdale pernah menggorok kulit kepalanya, memukul wajahnya, menggorok pergelangan tangannya  agar tidak dijadikan alat propaganda. Ia memahami bahwa mereka yang menyiksanya didalam penjara bukanlah pelaku kejahatan, mereka hanya menjaga integritas dengan menjalankan apa yang menjadi tugasnya. Tugas para penyiksa adalah mematahkan semangat tahanan dan Stockdale bertekad memperjuangkan moral dan harga diri dengan menjalankan peran yang ditentukan untuknya serta berusaha melakukan kemampuan terbaiknya. Melalui perjuangan yang cukup berat, Stockdale akhirnya berhasil dipulangkan ke Amerika. Dari Stockdale kita belajar bahwa tugas manusia dalam kehidupan ini adalah menerima peran dan berusaha semaksimal mungkin menjalankan peran tersebut dengan baik.
Larry Becker, seorang professor filsafat yang menderita polio sejak usia remaja. Walaupun telah menjalani pengobatan, Larry tetap kehilangan kemampuannya untuk berjalan, tangannya tidak bisa lagi digerakkan, serta gangguan pernafasan sebagai akibat dari Polio yang diderita. Universitas akhirnya memberi Larry kursi roda dan membuatkan jalan khusus untuknya. Kondisi ini tidak menjadikan Larry lemah. Ia berpikir jika apa yang dialaminya juga dialami oleh banyak orang. Larry justru memiliki gagasan untuk membantu orang lain tetap berkembang terlepas mereka disabilitas atau tidak. Gagasan yang dimaksud adalah pertama menurut Larry, Manusia adalah agent, bukan pasien. Katanya, sebagai agent kita perlu memiliki komponen seperti nilai, preferensi, tujuan, pertimbangan, keputusan, dan tindakan. Komponen-komponen tersebut sewajarnya harus saling mendukung, jika tidak, berarti seseorang tersebut sebenarnya lumpuh walau keadaan tubuhnya tidak disabilitas. Kedua, kata Larry, kita perlu fokus pada tujuan, bukan disabilitas. Kita harus fokus pada apa yang bisa kita lakukan bukan pada apa yang tidak bisa kita lakukan. Ketiga, kita perlu mengembangkan rencana hidup dengan mengupayakan cara terbaik untuk mencapainya dan terus-menerus merevisi mengikuti perubahan dan keadaan kita. Keempat, harmoni internal: menyelaraskan komponen rencana hidup antara pengalaman spiritual dan rasional, keinginan dan kebutuhan, serta tindakan dan alasan. Jika Stockdale memperlihatkan bahwa stoikisme adalah filsafat praktis (bisa diaplikasikan pada masalah hidup manusia) yang selalu mengedepankan etika, yaitu prinsip bagaimana berperilaku dan bertindak untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan, maka dari Larry kita belajar bahwa stoikisme memicu perubahan besar cara pandang kita terhadap kehidupan, dimana menurut paham stoic manusia bisa memberikan kebermanfaatan meskipun memiliki keterbatasan.
Buku ini juga menjelaskan ada tiga jenis persahabatan menurut Aristoteles yaitu persahabatan utilitas, persahabatan kesenangan, dan persahabatan kebaikan. Persahabatan utilitas dan kesenangan didasarkan pada keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pihak yang terlibat, ikatannya akan hilang jika keuntungan tersebut berkurang atau bahkan tidak lagi diperoleh oleh satu pihak dan lainnya, sedangkan persahabatan kebaikan terjadi ketika dua orang atau lebih menikmati hubungan satu sama lain karena merasa menemukan diri masing-masing dalam hubungan tersebut. Persahabatan ini membantu mereka tumbuh, saling mendukung untuk menjadi orang yang lebih baik. Menurut Stoic, persahabatan ini tidak hanya merujuk pada hubungan antar teman, tetapi juga hubungan dalam keluarga.
Dari banyak paragraf juga kutipan yang menarik, bagi saya yang paling relevan dengan kehidupan saat ini adalah"
Kata-kata tidak akan memberi pengaruh hingga kata-kata tersebut diwujudkan menjadi sebuah tindakan" (Hal.64).
Saat ini, sebagian besar orang terbiasa mencari motivasi dari indahnya kata-kata. Anak remaja yang tertarik pada lawan jenisnya berguru pada sosial media memburu kata-kata romantis untuk diungkapkan kepada orang yang disukainya, namun tidak jarang kata-kata romantis tersebut tidak lebih hanya sebatas kata yang tidak lagi bermakna ketika ikatan yang diingankan telah terjalin tetapi sikap atau perilakunya tidak mencerminkan kata-kata romantisnya. Seorang yang berselancar di dunia maya, berjelajah di berbagai media sosial mencari kata-kata motivasi untuk meningkatkan semangatnya dalam belajar, beraktivitas, dan bersosial contohnya "sebaik-sebaik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya" tetapi ketika melihat seorang anak kecil hendak menyeberang jalan dan ia memungkinkan untuk membantunya, ia enggan turun dari sepedanya untuk membantu, tidak memanfaatkan momen ini untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Seorang guru yang susah payah membuat perencanaan pembelajaran dengan sistematika dan isi yang sesuai dengan prinsip pembelajaran mendalam, tetapi di kelas ia meninggalkan siswanya. Mengabaikan tanggungjawab mengajar dan mendidik di kelas demi kepentingan pribadinya. Kata-kata dalam RPP/Modul Ajar yang disusunnya, lagi-lagi hanyalah kata-kata yang tidak memberikan pengaruh, khususnya dalam proses pembelajaran. Contoh yang paling nyata dan sederhana tetapi juga mengena tentang kata-kata adalah seseorang yang berjanji membayar hutang diwaktu tertentu namun tidak menepati katanya-katanya sendiri.