Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masalah Laut Tiongkok Selatan & “Kebebasan Navigasi” Bagi AS (2)

21 Februari 2016   11:41 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Konvensi Hukum Laut” Menurut AS

Dogma AS, perariran internasional harus sebesar mungkin, dan wilayah perairan teritorial sekecil mungkin. Mereka akan mencoba untuk membuat kita kembali pada perairan teritorial 3 mil laut jika itu bisa. Dan menginginkan perairan internasional sebsar mungkin, sehingga mereka dapat dengan melakukan skala besar tertinggi untuk navigasi peesawat dan kapal laut. Dan AS telah melakukan hal yang sama saat bernavigasi di Laut Tiongkok Selatan.

Sehingga ketika di Laut Tiongkok Selatan dibagi menurut region per region, hal itu tidak diragukan lagi akan menyusutkan ruang geraknya, dan ini akan mejadi masalah yang sama di laut di seluruh dunia.

Pada 1979, ketika UNCLOS berada pada tahap akhir, pemerintah AS diam-diam meluncurkan program operasi diplomatik dan militer yang disebut “Freedom of Navigation (FON) Program.” (Program Kebebasan Navigasi). Program ini bertujuan untuk mencegah “Klaim maritim ekslusif” dari negara pesisir, yang akan menjadi oposisi AS sebagai kekuatan maritim, dan untuk melestarikan mobilitas global pasukan AS.

Menurut pengamat Program “Kebebasan Navigasi” benar-benar menyentuh dua aspek, satu aspek diplomatik dan satu lagi aspek militer.

Secara diplomatis, Senat AS mengirim diplomat untuk melakukan negosiasi atau mengajukan protes dengan beberapa klaim kepada negara-negara mengenai wilayah perairan mereka, zona ekonomi eksklusif (ZEE) atau perairan kepulauan.

Aspek kedua, yang cukup penting dengan militer. Ini dilakukan oleh Departemen Pertahanan AS, yang dimulai dengan perintah dari Presiden AS pada tahun 1979. Operasi militer meliputi tiga aspek: Satu dengan melakukan lintas damai sebagai alasan hanya melintas didalam 12 mil laut dari teritorial perairan negara, untuk ini ada dua alasan.

Salah satunya adalah AS percaya beberapa negara ingin lebih pada pembatasan lintas damai. Misalnya, Tiongkok, Vietnam, dan bahkan sekutunya Republik Korea (ROK/Korsel), negara-negara lain yang masuk dalam teritorinya harus minta persetujuan dulu dan memberitahu sebelumnya. Amerika merasa ini menghalangi hak mereka untuk “lintas damai,” AS menginginkan bisa masuk  wilayah perairan negara tanpa memberitahu mereka. Itu menjadi alasan pertama.

Alasan kedua, bahwa AS pikir beberapa acuan dasar untuk wilayah perairan beberapa negara tidak rasional, karena ditarik dengan garis lurus. Tetapi sebenarnya, UNCLOS menyatakan untuk menggunakan garis pangkal lurus adalah metode yang dapat diterima untuk menandai wilayah atau teritorinya.

AS percaya bahwa garis kurva tradisional yang harus digunakan, bukan garis lurus. Ini jelas bertentangan, bahkan untuk Jepang yang menjadi sekutunya, AS kira beberapa garis pangkal lurus yang digunakan tidak benar, hal yang sama diberlakukan juga untuk Tiongkok.

Selain menggunakan “lintas damai” sebagai alasan untuk memaksa berlayar kapal perangnya di dalam 12 mil laut dari teritorial negara lain, logika hegemonik dari kebebasan navigasi juga dilakukan oleh pesawat terbang militer AS dan kapal perang yang berlayar di perairan seantero perairan dunia, selama mereka berlayar tidak masuk dalam 12 mil laut dari garis batas negara.

Dimata AS, memandang semua perairan hanya ada dua jenis: perairan nasional, di luar 12 mil laut adalah perairan internasional, dan perairan internasional termasuk ZEE, dan pesawat dan kapal AS bebas untuk bernavigasi melalui zona ini.

Tapi UNCLOS juga memiliki aturan mengenai ZEE, bahwa negara-negara pesisir memiliki yurisdiksi atas kegiatan ekonomi, ilmiah yang negara-negara lain tampil di zone ini. Masalah AS dengan negara-negara lain adalah dalam hal ZEE. AS merasa melakukan pengukuran militer tidak memenuhi syarat atau tidak termasuk sebagai penelitian ilmiah, dan tidak dibatasi oleh negara-negara pesisir, maka dengan menggunakan alasan ini sebagai alasan untuk sering memasuki ZEE negara lain, termasuk pengawasan maritim atau udara. Ini termasuk sekutunya, Filipina.

AS percaya bahwa Filipina ada mengklaim beberapa perairan yang ditandai seperti wilayah domestiknya, sehingga AS juga menantang Filipina. Ada juga terhadap Indonesia pesawat dan kapal perang AS masuk dalam teritori ZEE atau wilayah ekonomi ekslusif kita puluhan kali setiap tahunnya yang seolah menantang. Jadi secara keseluruhan, Program FON ini sebetulnya sangat sombong, dan berperilaku hegemonik.

Tapi hal ini tergantung daripada kekuatan maritim yang kuat untuk masuk ke negara lain, dan sesungguhnya itu mengancam negara-negara yang lebih lemah, dan yang tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi atau melawan pasukan militer AS.

Beberapa negara, seperti Jepang dan Filipina dan sekutu lainnya, tidak memprotes perilaku semacam ini dan hanya gregetan dan menahan tidak memprotes, tapi mereka tidak membicarakannya.

Menurut laporan kebebasan navigasi dari Departemen Pertahanan AS, di tahun-tahun fiskal antara tahun 2000 hingga 2011, kapal AL-AS telah melakukan lebih dari 100 kali “demontrasi kebebasan navigasi” yang kegiatan diarahkan ke 32 negara dan wilayah. Pada tahun 2014, 18 negara termasuk Taiwan dan Tiongkok ditantang AS. Negara yang ditantang ini termasuk Tiongkok, Ekuator, India, Filipina dan ROK/Korsel, juga Indonesia.

Hal yang paling licik adalah AS memiliki pilihan yang merupakan standar ganda. AS menggunakan pada dirinya hukum yang belum diratifikasi dan belum diterima. Ini menunjukkan AS munafik dan mau menang sendiri serta sewenang-wenang. Demikian menurut beberapa analis dan pengamat.

Tidak perduli apapun, secara obyektif, bagian dari kebebasan navigasi AS sesuai dengan yang telah diakui hukum internasional secara luas sebagai kebebasan navigasi. Namun ada beberapa titik kunci, terutama untuk perilaku, dimana itu bertentangan dengan kebebasan navigasi hukum internasional.

Mengapa AS begitu bersemangat tentang kebebasan navigasi? Karena kebebasan ini membuat pasti AS secara terbuka secara legal mengandalkan kekuatan maritim yang kuat untuk menantang kedaulatan dan yurisdiksi teritorial perairan, ZEE dan perairan kepulauan dari negara-negara lain.

Jadi, dalam beberapa tahun terakhir ini, mengapa Laut Tiongkok Selatan menjadi target AS sebagai fokus “kebebasan navigasi”. Lalu tujuan rahasia apa yang dilakukan AS untuk mencapai ini dengan menyalah-gunakan prinsip-prinsip “kebebasan navigasi.” ?

Laut Tiongkok Selatan adalah jalur maritim yang menghubungkan Tiongkok dengan dunia, dan merupakan koridor maritim antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Saat ini, rute maritim Laut Tiongkok Selatan telah menjadi salah satu rute perdagangan maritim yang paling penting di dunia, 37 rute maritim internasional tradisional melewati sini., dengan lebih dari setengah dari produk perdagangan dunia, sepertiga (1/3) dari minyak mentah dunia, dan lebih dari setengah gas alam dunia yang diangkut melalui kawasan ini.

Meskipun sengketa mengenai batas-batas pulau dan terumbu karang dan perairan di Laut Tiongkok Selatan telah ada selama beberapa dekade, tampaknya Tiongkok tetap mempertahankan perdamaian umum dan stabilitas kawasan dibawah inisiatif meskipun “Kedaulatan adalah milik Tiongkok, semua perselisihan harus dibicara di meja perundingan, untuk saling mencapai pembangunan bersama.”

“Financial Observer” Australia pernah menerbitkan sebuah artikel dengan menunjukkan “Jika masih ada negara yang paling peduli tentang kebebasan navigasi di Laut Tiongkok Selatan dan di seluruh dunia, itu adalah Tiongkok. Tidak hanya Tiongkok perlu mengangkut barang ke seluruh dunia, juga perlu untuk mengimpor sumber daya dari seluruh dunia. Ini tidak akan menjadi logis bagi Tiongkok untuk menjadi marah untuk transpotasi damai tanpa alasan.”

Namun, sudah untuk waktu lama, AS telah menggunakan kebabasan navigasi sebagai alasan untuk sering melakukan pengintaian di perairan sekitar Tiongkok, memantau, dan mengganggu kegiatan militer yang normal Tiongkok. Ini menurut pandangan beberapa analis dan pengamat netral.

Dalam insiden USNS Impeccable pada bulan Maret 2009, kapal pengintai Impeccable AS dituduh mencoba untuk mendeteksi dengan informasi sonar fingerprint dari kapal selam Tiongkok, atau servei oceanografi dari Laut Tiongkok Selatan.

 

Laporan CNN mengatakan bahwa pada bulan Juni tahun yang sama, dalam insiden USS John McCain, Kapal perusak AL-AS USS John McCain mengikuti kapal selam Tiongkok di perairan internasional di selatan Subic Bay ketika kapal selam Tiongkok tidak sengaja berbenturan dengan array atau signal sonar yang di tarik USS John McCain. (Sonar yang ditarik kapal itu untuk mendeteksi keberadaan dan pergerakan kapal selam, dengan memancarkan gelombang sonar, yang kemudian ditangkap peralatan sensor dan komputer untuk diolah untuk mendapatkan data dari kapal selam yang terdeteksi)

Pada bulan Desember 2013, ketika kapal induk Tiongkok, Liaoning melakukan latihan formasi di Laut Tiongkok Selatan, USS Cowpens berkelana jauh ke dalam wilayah latihan militer Tiongkok, dan masuk zona pertahanan internasional dari formasi kapal induk. Setelah formasi terbentuk Tiongkok mengeluarkan peringatan dengan tidak ada respon, maka kapal perang Tiongkok belayar menuju USS Cowpens, memaksanya untuk menyingkir.   

 

Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada beberapa friksi antara AS dan Tiongkok di ZEE Tiongkok. Ada juga beberapa kali gesekan di perairan terdekat, yang cukup sering terjadi dengan pengintaian militer berskala besar terhadap Tiongkok, yang melibatkan kapal pengintai laut dan pesawat terbang di udara, termasuk apakah AS akan survei atau mengintai Tiongkok. Pada kenyataannya, itu semua untuk pengumpulan informasi.

Instrumen yang dipakai di kapal survei sangat canggih, dan dapat mendeteksi medan di dasar laut di perairan terdekat, termasuk sinyal di laut dalam, jika ada kapal selam bergerak, AS dapat membandingkan dengan data base dan tahu bahwa kapal selam Tiongkok ada disana.

Jadi ini dianggap Tiongkok sebagai ancaman yang sangat besar untuk kegiatan kapal selam Tiongkok. Pesawat, seperti yang telah disebutkan dapat memperoleh informasi tentang dinamik pesawat dan dinamika kapal Tiongkok. Kedua, mereka juga dapat mengumpulkan informasi nirkabel. Jadi AS melakukan secara dekat pengintaian dari perairan dekat Tiongkok bisa menimbulkan bahaya yang parah bagi keamanan nasional Tiongkok, dan itu menjadi akar kecelakaan atau accident maritim dan udara antara Tiongkok dan AS.

Dan insiden yang terjadi sangat erat berkaitan dengan keingin-tahuan AL-AS pada perkembangan militer Tiongkok. Think-tank AS “Carnegie endowment for International Peace” menunjukkan dalam sebuah esei yang mengatakan, AL-Tiongkok tidak saja akan “membatasi” kebebasan navigasi skala besar di Laut Tiongkok Selatan, mereka juga akan memaksa AS dalam melakukan pengumpulan informasi intelijen menjadi terbatas.

Jika Tiongkok sudah bisa menguasai kedaulatan semua pulau-pulau, kapal dan pesawat tempur AS akan tidak mungkin lagi mendekat dalam 12 mil laut dari perairan teritorial Tiongkok, dan juga tidak mungkin bagi AS untuk melakukan operasi dalam 200 mil laut ZEE Tiongkok, yang berarti kebebasan hegemonik AS akan secara besar dibatasi.

Pada tahun 2012, Tiongkok mengusulkan menjadi kekuatan maritim, terutama untuk tiga kondisi. Salah satunya adalah untuk mempertahankan hak-hak maritim, perlindungan lingkungan laut.

Maka AS berpikir Tiongkok menantang posisi hegemonik AS pada skala global. Pada permukaan, benturan di Laut Tiongkok Selatan tampaknya menjadi gesekan atau konflik yang dikarenakan Tiongkok mengembangkan pulau-pulau karang, namun pada kenyataannya, alasan dibalik itu, terutama dari sudut pandang AS, AS percaya bahwa kebangkitan Tiongkok dalam kekuatan maritim dan meningkatkan kegiatan maritim menimbulkan ancaman bagi AS, bukan saja hanya di Laut Tiongkok Selatan, tetapi juga di daerah-daerah maritim lainnya.

Jadi analis pikir dibalik kontes ini, setidaknya dari sudut pandang AS, itu adalah dialog face-to-face antara kekuatan yang baru muncul dengan kekuatan maritim yang sudah mampan.

Secara historis, apa yang disebut AS “kebebasan navigasi” telah dikoordinasikan dengan perluasan kepentingan global AS. Kini, AS berharap mengubah “kebebasan navigasi” menjadi “izin musafir” (traveler permit) khusus untuk laut Tiongkok Selatan.

Tapi sebenarnya, AS memiliki pertimbangan yang lebih dalam di balik “traveler permit.”

( Bersambung ......... )

Sumber : Media TV & Tulisan Dalam & Luar Negeri

Begini Saran Jokowi Mencegah Konflik Laut Cina Selatan

Kapal Perang AS Berlayar Dekat Pulau yang Diklaim China di Laut China Selatan

White House Moves to Reassure Allies With South China Sea Patrol, but Quietly

Foreign Ministry Spokesperson Lu Kang's Remarks on Issues Relating to China's Construction Activities on the Nansha Islands and Reefs

Pentagon: Five Chinese vessels harass U.S. ship

South China Sea Dispute

China strongly condemns US over its warship in South China Sea

China Outraged as U.S. Navy Ship Navigates South China Sea

South China Sea: US warship in the disputed waters sparks Beijing’s fury

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun