Mitos mengenai larangan menggunting kuku di malam hari karena dianggap membawa sial telah berakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Kepercayaan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, dan masih dipercayai oleh banyak orang, terutama di kalangan generasi yang lebih tua. Namun, jika kita telaah lebih jauh, mitos ini ternyata memiliki beberapa kemungkinan asal-usul yang berkaitan dengan aspek budaya, keselamatan, dan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi masyarakat pada zamannya.
Mitos semacam ini tidak hanya hadir di Indonesia; beberapa negara Asia lainnya seperti Jepang dan India juga memiliki kepercayaan serupa. Dalam budaya Jepang, contohnya, diyakini bahwa menggunting kuku di malam hari dapat memperpendek umur seseorang. Sedangkan di India, mitos ini sering terkait dengan ajaran spiritual yang menganjurkan agar tidak membuang bagian tubuh, seperti kuku dan rambut, setelah matahari terbenam.
Kemungkinan besar, mitos di Indonesia ini berakar dari kebiasaan zaman dahulu ketika masyarakat hidup tanpa pencahayaan listrik yang memadai. Pada masa itu, dengan hanya mengandalkan lampu minyak atau lilin sebagai sumber cahaya, menggunting kuku di malam hari bisa berisiko melukai jari karena kondisi yang gelap. Untuk mencegah kejadian tidak diinginkan, larangan ini kemudian dibungkus dalam bentuk mitos agar lebih mudah diterima dan ditaati oleh masyarakat.
Dilihat dari perspektif logis, tidak ada hubungan ilmiah antara menggunting kuku di malam hari dengan nasib buruk. Keberhasilan atau kegagalan seseorang lebih banyak ditentukan oleh usaha, keputusan, dan faktor-faktor eksternal lainnya, bukannya oleh kebiasaan sederhana seperti memotong kuku.
Pada zaman dulu, terdapat beberapa alasan rasional yang mendasari penghindaran terhadap kebiasaan ini:
1. Keselamatan - Alat pemotong kuku yang digunakan pada masa lalu tidak seefisien dan setajam seperti yang ada sekarang. Menggunting kuku dalam gelap dapat berpotensi membahayakan, sehingga lebih bijaksana untuk melakukannya di siang hari saat pencahayaan cukup.
2. Kebersihan - Memotong kuku di malam hari dapat menyulitkan proses pembersihan sisa-sisa kuku yang terjatuh. Jika tidak dibersihkan dengan baik, sisa-sisa kuku tersebut dapat dianggap sebagai kotoran yang mengganggu kebersihan rumah.
3. Efek Psikologis - Kepercayaan pada mitos ini dapat menimbulkan kecemasan atau ketakutan jika dilanggar. Rasa takut ini bisa berujung pada sugesti negatif, yang membuat seseorang mengalami kejadian buruk akibat kecemasan yang dialaminya sendiri.
Di era modern ini, dengan adanya pencahayaan yang memadai dan alat pemotong kuku yang lebih aman, larangan ini menjadi kurang relevan dari segi keselamatan. Banyak orang kini menggunting kuku di malam hari tanpa mengalami hal-hal buruk, yang menunjukkan bahwa mitos tersebut lebih merupakan tradisi daripada fakta ilmiah.
Namun, jika ada anggota keluarga atau orang tua yang masih percaya pada mitos ini, sebaiknya kita menghormati kepercayaan mereka. Menyesuaikan kebiasaan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh keluarga tidak ada salahnya, asalkan tidak mengganggu aktivitas atau merugikan diri sendiri.
Secara keseluruhan, mitos tentang menggunting kuku di malam hari sebagai pembawa sial mencerminkan kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat. Meski tidak didukung oleh bukti ilmiah, mitos ini memiliki latar belakang budaya yang patut dipahami. Di zaman modern ini, penting bagi kita untuk menyikapi mitos tersebut dengan bijaksana, tanpa perlu takut melanggarnya, namun tetap menghormati kepercayaan yang dianut sebagian orang. Akhir kata, keberuntungan atau kesialan lebih ditentukan oleh usaha dan keputusan kita sendiri, bukan oleh hal-hal kecil seperti waktu kita memotong kuku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI