Di mataku kamu sudah tidak lagi cantik. Setelah dengan terbuka terlihat bermain hati di depanku. Hebatnya kamu bersikap biasa, seolah itu bukan dosa besar dalam sebuh hubungan kita yang tak seumur jagung. Kamu melihatku, lantas pergi dengannya dengannya.
Sudahlah, yang terjadi biarlah berlalu. Aku tentu saja terluak dan merasa terpukul. Apa daya, kalau kamu sudah tak lagi mau mehangatkan hubungan kita yang tak lagi hangat itu. Sebenarnya aku sudah curiga dengan sikapmu akhir-akhir ini.Â
Kamu yang tak ada kabar, saat aku tanya bukannya menjawab malah mengalihkan dengan obrolan lain. Pun saat seorang teman dekat membisikiku katanya sering melihatmu jalan dengan laki-laki lain. Bahkan, di perpustakaan daerah kamu sering berjam-jam berdiskusi dengan laki-laki itu.
Aku tidak begitu percaya. Bukan karena menuduh temanku bebohong, aku tahu seperti apa temanku. Cuma aku takut kita ribut lagi. Kita konflik dan adu mulut. Aku capek dengan umpatan. Aku lelah dengan caci maki. Aku ingin kebersamaan kita seperti dulu selalu hangat dan penuh kasih. Kisah yang saling menyempurnakan.
**
"Kamu yakin bisa bertahan Nak di sini," ibu belum yakin aku bisa bertahan dengan kenyataan ini.
"Yakin, Bu." Aku menjawab mantap.
Sebelumnya ibu menyarankan aku menenangkan diri ke Jakarta. Di ibu kota besar itu ada suadara ibu yang berdomisili di sana. Selain untuk menentramkan luka agar tak terus menganga. Di sana juga aku bisa mengembangkan hobiku menulis, semoga saja ada asa, begitu kata ibu.
Namun aku memilih bertahan. Ingin memeluk rasa pahit dengan penuh kesadaran. Dengan teman-teman di komunitas literasi aku giat mengadakan pelatihan kepenulisan ke sekolah-sekolah. Tak jarang kami bekerja sama dengan pemerintah setempat mengadakan penyeluhan dan pentingnya literasi digital ke kampung dalam.
Kesibukan ini membuatku terhibur. Aku bertemu dengan orang-orang baru. Berbagi pikiran dan mimpi. Betapa selama ini aku menutup mata. Fokus dengan hidupku, kisah cintaku dan berburu ilmu dari satu buku ke buku lain. Hadir dari seminar ke seminar lain. Begitu terus.
Tapi aku menutup mata, ternyata daya baca di kotakuÂ