Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, mental, politik dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pandeglang Book Party Pengen Road to School

16 April 2025   23:13 Diperbarui: 16 April 2025   23:22 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adik dan beberapa siswa se-Koroncong tengah ikut lomba menulis. (Sumber: WA Bu Guru)

Seru juga diskusi dengan teman-teman di komuintas Pandeglang Book Party (baca: PDP) via daring, beberapa hari lalu. Diskusi itu menyoal dewan revolusi, eh bukan, tapi fase baru PDP membentuk divisi untuk kepengurusan baru. Biasanya sih, berjalan biasa saja. Namun, semua berubah setelah founder sowan ke komunitas book party sebelah. Ternyata, urgent juga dibentuk kepengurusan.

Kepengurusan itu memang penting, sih. Pentingnya agar ada pemandu, promotor yang bisa mengatur. Kalau kata Nabi, dianjurkan kalau kita mengadakan perjalanan lebih dari dua orang, harus ada yang ditunjuk jadi ketua rombongan.

Singkatnya, dalam perjalanan yang temporar saja harus ada yang diangkat menjadi ketua, apalagi dalam lingkup yang lebih luas. Di sinilah ulama meng-istimbat hukum, dalam skala sosial harus ada pengurus dan kepengurusan utuk menjaga tertib juga ketertiban manusia.

Dalam konteks komunitas PDP, dan memang anggotanya semua manusia, sudah ada saatnya ada pengurus tetap. Siapa itu, maka dikembalikan pada tiap mereka yang aktif. Alhamdulillah, sudah terbentuk. Tinggal menunggu pelantikannya, entah di istana Jakarta atau di Kalimantan sana, semua masih buram seperti nasib harga emas yang melangit.

Namun yang menarik bagi saya ialah soal gerakan kawan-kawan di PDP dalam waktu dekat, bakal road to school. Kenapa menarik, karena arus teknologi informasi menggerus generasi emas. Kita kurang akrab lagi dengan buku maupun bahan bacaan konvensional. Mereka lebih suka melihat konten-konten populer daripada hanyut ke sumber yang sering bikin ruwet pikiran, mata mengantuk dan perut lapar.

Kalau pun mau tambah informasi, kan gak harus membaca buku-buku, bisa mendengar ulasan konten kreator yang menjadikan ragam soal tema. Selain bahasanya yang enak juga durasinya gak bikin pening, cukup menonton sambil makan cemilan, dapat tuh poin intinya.

Atau paling mudah adalah chat GPT. Misalnya kita ingin tahu, sejarah orang patah hati di dunia itu bagaimana. Kita ingin data akurat, tinggal ketika di pencarian, beberapa detik kemudian disuguhi data soal itu.

Apa itu relevan dan bakal tepat? Bisa iya, bisa juga. Semua terlihat akurasinya dengan kita mengkonfirmasi dari sumber primer-nya. Tapi kalau kita hanya percaya, ya sudah, akurat atau tidak memang tidak penting. Terpenting ada data kasar meskipun belum teruji secara ilmiah. Di sinilah di antara peran komunitas literasi, bagaimana membangun tradisi baca-menulis-menulis dan sejenisnya di lingkungan. 

Beberapa hari lalu, guru adik saya chat, katanya adik bungsu saya itu bakal ikut serta dalam lomba menulis di kecamatan. Dari sekian murid di sekolahnya, ia yang terpilih. Sebagai manusia dan kakak, tentu saja bangga.

Di sela-sela obrolan itu saya bertanya, bagaimana ruang literasi di sekolah. Ya, kurang menggembirakan, katanya. Sekalipun sudah dibentuk kelompok literasi, tetap saja minat anak-anak kurang menggembirakan. Saya gak berkomentar lebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun