Mendung menggantung di langit Majalengka. Bersiap menumpahkan segala yang dipendamnya. Seolah berkomplot dengan kemuramanmu, yang bersebabkan entah belum kumengerti.
"Ada apa hari ini?" Tanyaku
Kau masih diam.
Pertanda buruk. Kau biasanya mudah diajak bicara. Bahkan dengan modal sebuah pancingan sederhana. Kukira, itu salah satu alasan kenapa kita bisa cocok. Kau bicara, aku mendengarkan. Tidak selalu memang, hanya seringkali begitu pola yang berulang. Dan kita toh mengalir saja.
"Pekerjaan lagi?
Tak digubris.
Apa tebakanku salah?
Sudah 2 hari ini kau bicara soal Iyan, teman sekantormu. Katamu ia pegawai baru. Sudah 4 bulan kerja. Bukan perokok dan memperhatikan betul penampilan motor bebek klasiknya. Ia juga suka sepakbola. Ah, aku agak lupa. Sebentar. Tim dari Inggris. Liverpool kau bilang.
Agaknya kau tertarik dengannya. Lagi-lagi hanya tebakan. Bukan, ini bukan insting cemburu seorang kekasih. Aku tidak cemburu. Toh, aku dan kau hanyalah sepasang manusia yang berkawan sejak lama dan menemukan kecocokan untuk berbagi. Bukankah itu yang terpenting? Berbagi?Â
Kelebat petir membuat pandanganmu beralih ke luar. Jari mengetuk-ngetuk meja. Seolah tak sabar akan sesuatu. Gelisah dikejar gemuruh.
BLAAAAR