Mohon tunggu...
Mahliana De Uci
Mahliana De Uci Mohon Tunggu... Freelancer - dan bagaimana saya harus mengisi kolom ini?

Gemar menonton bola dan main PES. Asli Majalengka.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Keep Calm" dalam Menyikapi Isu SARA

10 April 2018   20:03 Diperbarui: 11 April 2018   00:02 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lagi-lagi soal ini jadi bahan ricuh di negara kita. Ironis ya karena dari dulu semboyan Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika tapi masyarakatnya selalu gelisah tiapkali masalah suku, agama, ras, dan antar golongan mengapung ke permukaan apalagi tiap masa pemilu datang. 

Setelah "insiden surat Al-Maidah ayat 5"-nya Ahok dan puisi "Ibu Indonesia" bu Sukmawati mencuat, kali ini Ganjar Pranowo, salah satu calon gubernur Jawa Tengah, yang kena giliran.  

Membacakan puisi "Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana" karya Kiai Haji A. Mustofa Bisri dalam acara Rosi di Kompas Tv, Ganjar mendapatkan kecaman dari Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) karena satu bait dalam puisi berbunyi "Kau bilang Tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat" dianggap menyinggung agama Islam.

Hhmmm ada apa di balik silih sengketa ini? Bukankah puisi itu ditulis sejak lama? Adakah agenda terencana nan tersembunyi di balik ini? Atau jangan-jangan ini settingan semata? Ah kayak sitkom bajaj bajuri aja ya.

Yang jelas inilah kenapa akhirnya banyak orang yang kecewa dan memilih untuk 'bodo amat' dengan kancah politik Indonesia. Penggunaan isu SARA kerap kali menjadi pilihan para strategis di balik layar.  Tuding sini, sikat sana, hajar situ, pdkt lainnya. Dan mendadak aktif ketika masa pemilihan tiba. Inilah yang membuat kebanyakan menarik kesimpulan bahwa 'Politik itu lembah gelap; dunia kotor dan busuk' Lha wong, perbedaan jadi senjata untuk menjatuhkan, untuk meraih tahta impian.

Tentunya bukan berarti tim banyak-orang-yang-kecewa itu benar. Apatis dengan keadaan tidak merubah apapun. Tak 'kan berimbas dengan terciptanya iklim politik yang sehat. Justru dengan memilih diam itu maka panggung media terutama media sosial akan dipenuhi oknum-oknum penyebar SARA dan para konsumennya. Seperti mbah Soe Hok Gie bilang 'Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan' Iya, saya korban film Gie. Nicholas Saputra ganteng sekali ya, tonton deh.

"Mas, bukannya kami apatis. Diamnya kami itu mengikuti peribahasa diam itu emas, mas. Bukan begitu, mas?" Saya bingung karna masnya banyak.

"Kalau misal kami juga menanggapi dengan menggebu-gebu lantas apa kolamnya tidak semakin keruh karena banyak tangan yang ngobok-ngobok?"

Hahaha. Benar juga ya. Ruwet!

Yah, paling tidak jangan ikut-ikut terpancing dan naik darah jika ada potensi sumbu SARA yang dinyalakan. Baca, periksa sumber tersebut dan coba sedikit direnungkan. Berita ini bisa menguntungkan siapa? Apakah kredibel situs penyedia beritanya? Bagaimana situs berita lain? Apakah turut menyiarkan berita senada? Jangan-jangan teman di sekitar saya pendukung salah satu calon, yang mana sah-sah saja jika memang pinginnya sendiri dan ada kesamaan visi. Syukur syukur pilihannya amanah, mawaddah, dan warahmah. Eh.

Pokoknya jangan kesusu, kepancing isu-isu. Nanti tekanan darahnya malah naik lho. Kan, aku jadi sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun