Mohon tunggu...
Mahlail Syakur Sf.
Mahlail Syakur Sf. Mohon Tunggu... Penulis

Hobi: Membaca dan Menulis Konten Topik: Pendidikan Literasi dan Sosial Keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fungsi Memahami Ke-Aswajaan bagi Guru Agama

7 Oktober 2025   06:24 Diperbarui: 7 Oktober 2025   06:24 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fungsi Mempelajari Ke-Aswaja-an bagi Bagi Guru/Calon Agama

by Mahlail Syakur Sf. 

Ke-Aswaja-an merupakan salah satu kajian ke-Islaman yang membahas secara komprehensif tentang dasar-dasar ajaran Islam, nilai-nilainya, dan praktik ke-Islaman yang berpijak pada pemahaman moderat (tawassuth), keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), dan keadilan ('adl atau i'tidal) sebagaimana diajarkan oleh para 'ulama dari golongan Ahlussunnah wal-Jama'ah.

Materi Ke-Aswaja-an memiliki banyak fungsi yang sangat penting dan spesifik bagi seorang Guru/Calon Guru Agama, terutama dalam konteks Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang akan mengajarkan ilmu fiqih. Fungsi memahami ke-Aswaja-an bukan sekadar menambah pengetahuan teologis, melainkan untuk memperkuat kompetensi pedagogik dan professionalisme dalam mengajarkan materi keagamaan secara kontekstual, moderat, dan inklusif.

Di antara fungsi utama memahami materi Ke-Aswaja-an bagi Guru Agama atau Calon Guru Agama adalah:

1. Memperkuat Landasan Metodologi (Manhaj al-Fikr) dalam Agama; materi Ke-Aswaja-an menjadi bekal bagi Guru Agama dengan landasan metodologi yang kuat, khususnya yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama (Aswaja An-Nahdliyah), yaitu berupa:

  • Pemahaman Mendalam tentang Mazhab; Guru Agama akan memahami mengapa mayoritas Muslim di Indonesia berpegang pada Mazhab Syafi'i. Hal ini memberikan dasar yang kokoh saat menjelaskan dalil dan tata cara ibadah yang diajarkan di sekolah atau madrasah.
  • Apresiasi terhadap Khilafiah; Dengan bekal materi prinsip tawazun (berimbang) dan i'tidal (moderat) dalam Aswaja Guru Agama akan mampu menjelaskan perbedaan pendapat (khilafiyyah) terutama dalam masalah fiqih seperti qunut subuh, bacaan ushalli dalam niat shalat, dan pelaksanaan tahlil (tahlilan) tanpa menyalahkan atau memecah belah. Guru dalam hal ini dapat mengajarkan bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat bukan laknat (bencana).
  • Posisi Taqlid, Ittiba', dan Ijtihad; Guru Agama akan dapat menjelaskan kapan umat Islam disarankan untuk ber-taqlid (mengikuti pendapat 'ulama yang kredibel), kapan harus ber-ittiba' (mengikuti dalil 'ulama), dan mengetahui batasan untuk ber-ijtihad (menetapkan hukum baru) sesuai dengan kerangka berpikir Aswaja.

2. Mengkontekstualisasi Teori Fiqih dengan Budaya dan Karakter Bangsa; Yakni untuk menjembatani ajaran Agama (fiqih) yang bersifat normatif dengan realitas sosial dan budaya Indonesia yang majemuk dengan pemahaman sebagai berikut:

  • Fiqih Berbasis Lokalitas; Menyajikan materi Aswaja, khususnya yang berkaitan dengan tradisi (seperti ziarah dan maulid), memberikan kerangka fiqih yang mengakui dan menghargai budaya lokal ('urf) atau kearifan lokal (local wisdom). Guru Agama (terutama bidang fiqih) akan dapat menjelaskan praktik-praktik ibadah tersebut sebagai bagian dari kegiatan ('amaliyyah) yang memiliki sandaran hukum dalam perspektif Aswaja, sehingga ajaran agama (fiqih) tidak terkesan anti-budaya.
  • Penanaman Nilai Moderasi Beragama; Prinsip tasamuh (toleransi) dalam Aswaja sangat penting untuk diinternalisasikan dalam pelajaran agama terutama Fiqih Mu'amalah (hukum sosial). Guru Agama dapat mengajarkan interaksi sosial, ekonomi, dan politik yang sesuai dengan syari'at namun tetap bersikap toleran terhadap keragaman, baik internal maupun eksternal umat Islam. 
  • Integrasi Nasionalisme; Konsep "Hubb al-Wathan min al-Iman" (Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman) yang diperkenalkan dalam Aswaja an-Nahdliyyah menjadi landasan bagi Guru Agama (Fiqih) untuk mengajarkan bahwa mentaati hukum negara (selama tidak bertentangan dengan syari'at) adalah bagian dari ajaran Islam, yakni memperoleh pahala. 

3. Membekali Guru dalam Menghadapi Isu Kontemporer dan Radikalisme; Guru Agama (Fiqih) di era informasi dan digital sering dihadapkan pada pertanyaan atau isu-isu yang dipicu oleh kelompok ekstrem. Materi Aswaja dalam konteks ini akan berfungsi sebagai benteng dalam:

  • Analisis Doktrin Penyimpangan; Di antara materi Aswaja adalah tentang ciri-ciri dan bahaya paham ekstremisme, radikalisme, dan liberalisme agama. Guru Agama (Fiqih) diberikan bekal kemampuan untuk mengidentifikasi dan menangkal narasi-narasi yang berpotensi menyimpang dan narasi  kebencian (hate speech) di kalangan peserta didik.
  • Menciptakan Kelas yang Damai; Dengan prinsip tawassuth, Guru Agama dapat menciptakan lingkungan kelas yang aman dari klaim kebenaran tunggal (truth claim) dan penghakiman sebagai kafir (takfir). Pendekatan Aswja akan mencegah peserta didik terpapar pada ajaran agama (fiqih) yang kaku dan mudah menyalahkan pihak lain.
  • Penguatan Professionalisme Guru; Dengan pemahaman Aswaja, Guru Agama (Fiqih) tidak hanya mengajarkan "apa yang harus dilakukan" (hukum fiqih), tetapi juga bagaimana cara berpikir tentang hukum Islam yang lebih fleksibel, beradab (ta`addub), dan sesuai dengan manhaj 'ulama salafus shalih.

Jadi, Ke-Aswaja-an bagi Guru Agama (Fiqih) merupakan alat vital untuk mengubah pengajaran agama (terutama fiqih) dari sekadar hafalan teori hukum menjadi pendidikan karakter berbasis moderasi dan kebangsaan. Wallahu a'lam bis-shawab. [MS2F] 

********* 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun