Saya pernah membaca berita tentang Raja Swedia yang berkunjung ke India. Bukan mengenai kunjungannya yang menarik perhatian saya, tetapi bagaimana sikap sang Raja ketika turun di Bandara itu yang menarik untuk saya bahas.
Sang Raja tertangkap kamera sedang turun di bandara disambut oleh pejabat terkait. Yang menarik, sang Raja terlihat menjinjing tas kopernya sendiri dan tak ada ajudan yang membantu di sekitarnya.
Sikap Rendah Hati
Dari kacamata saya, hal ini jarang sekali terlihat ketika para pejabat melakukan sebuah kunjungan. Biasanya, para pejabat akan mengikuti protokoler. Barang bawaannya pasti sudah ada yang mengurusi, tanpa perlu mereka repot-repot menjinjingnya sendiri ketkia turun di bandara.
Raja swedia ini berbeda. Ia seolah sedang menunjukkan bagaimana seharusnya sikap rendah hati itu. Sikap rendah hati yang merupakan sebuah sikap mulia yang seharusnya dimiliki oleh para pejabat. Sebuah sikap elegan yang patut untuk diapresiasi.
Dalam realita, sikap rendah hati terkadang disalahpahami dengan rendah diri. Keduanya sama-sama merendah, tetapi sebenarnya berbeda arti. Yang satu merupakan sikap mulia, yang satu lagi sikap yang perlu dihindari.
Terkadang orang menganggap rendah hati itu sama dengan rendah diri. Padahal sikap rendah hati itu meninggikan diri, bukan justru merendahkan diri. Semakin rendah hati, semakin tinggi kehormatan diri.
Rendah hati itu sama dengan padi yang merunduk. Merunduk bukan berarti malu diri, tetapi merunduk menunjukkan kualitas diri. Bukankah semakin merunduk padi, semakin padi itu berisi?
Adakah Batasan Rendah Hati?
Timbul pertanyaan, apakah sikap rendah hati itu ada batasannya?
Sebenarnya, jika rendah hati dimaknai dengan benar, seharusnya tidak ada yang membatasinya. Namun, ada beberapa argumen yang mungkin bisa dianggap sebagai batasan sikap rendah hati.
Misalnya, ada argumen yang mengatakan bahwa batasan rendah hati adalah rendah diri. Maksudnya, kita boleh bersikap rendah hati, tetapi tidak boleh sampai merendahkan diri.