Mohon tunggu...
Mahira Adinda
Mahira Adinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Library and Information Science Student at Padjadjaran University

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Candace Owens Sindir Harry Styles dan Mendukung Toxic Masculinity, Netizen Geram

30 Mei 2021   21:42 Diperbarui: 30 Mei 2021   21:55 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candace Owens di Conservative Political Action Conference 2020, Maryland. Foto: Evan Golub/Zuma Press

Candace Owens, seorang penulis dan aktivis politik asal Amerika Serikat memberikan komentar terhadap penyanyi asal Inggris, Harry Styles yang mengenakan gaun Gucci berenda dengan blazer hitam untuk sampul majalah Vogue edisi Desember (15/11/2020). Menurutnya, tidak ada masyarakat yang dapat bertahan tanpa pria jantan atau 'manly man' dan menegaskan dengan cuitan "Bring back manly man." Pernyataannya tersebut dibanjiri oleh berbagai komentar dari puluhan ribu netizen di Twitter. Mayoritas dari mereka tidak setuju dengan perkataan Owens dan menganggapnya sebagai dukungan terhadap toxic masculinity.

Saat ini, topik mengenai toxic masculinity semakin mendapat banyak perhatian. Toxic masculinity merupakan sebuah istilah yang mewakili perilaku dan persepsi yang dimiliki seseorang tentang apa artinya menjadi seorang 'pria'. Maskulinitas menjadi toxic ketika pria tidak dapat mengekspresikan dirinya secara emosional atau kreatif karena takut dicap feminim. Contohnya seperti pria yang berpakaian di luar norma cisgender maupun yang bertindak dengan cara yang dianggap tidak jantan oleh mereka yang memiliki toxic masculinity. Cisgender adalah seseorang yang sudah mengidentifikasi gendernya sesuai dengan jenis kelamin yang ia bawa sejak lahir (SehatQ, 2020).

Dilihat dari komentar Owens di Twitter pada 15 November 2020, ia berpikir seolah-olah cara berpakaian seseorang menentukan apakah seorang pria tersebut 'manly' atau tidak. Pemikiran-pemikiran seperti itu menyebabkan beberapa pria menyembunyikan identitas asli mereka, salah satunya tentang pakaian yang mereka ingin kenakan dan sukai untuk menghindari rasa malu maupun pelecehan. Hal tersebut mereka lakukan demi diterima oleh masyarakat. Fokus yang kuat terhadap norma maskulin akan mempengaruhi bagaimana cara seseorang memandang suatu permasalahan sosial. Ketika seseorang terlalu fokus pada gender yang terprogram untuk ekspresi maskulinitas yang ketat, maka mereka akan menormalkan ekspektasi tersebut dan menerimanya sebagai sebuah fakta.

Harry Styles mengenakan gaun Gucci untuk cover majalah Vogue edisi Desember 2020. Foto: Tyler Mitchell/Vogue
Harry Styles mengenakan gaun Gucci untuk cover majalah Vogue edisi Desember 2020. Foto: Tyler Mitchell/Vogue


Mayoritas dari netizen Twitter yang melihat cuitan Owens tersebut tidak setuju dan memberikan pandangan mereka masing-masing.
"I think you’ve missed the definition of what a man is. masculinity alone does not make a man." ujar akun @elijahwood
"It's so sad to see the man who is so unproblematic and always preaches kindness being brought down. He's a good person, wearing a dress or wearing a suit.  Your clothes should not determine how manly or feminine you are. or who you are as a person." ujar akun @lydb1d

Daryl Beum (1964) dalam teori fungsional yang ia buat, berpandangan bahwa tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku. Ia menyatakan bahwa setiap tingkah laku, baik yang berupa verbal statement maupun sosial merupakan hal yang bebas dan independen, bukan merupakan suatu refleksi sikap atau sistem kepercayaan (belief) dalam diri seseorang. Dalam interaksi sosial, hubungan sosial memiliki dua jenis yaitu hubungan fungsional yang memiliki kontrol penguat (reinforcement control) dan hubungan fungsional yang memiliki kontrol diskriminatif (discriminative control).

Pada hubungan fungsional yang mengandung discriminative control, tingkah laku balas atau respon hanya terjadi jika ada stimulus atau rangsang diskriminatif. Tingkah laku operan (operant) dengan menggunakan verbal statement disebut 'tact'.  Daryl Beum meyakini bahwa lama kelamaan tact dapat menjadi kepercayaan (belief). Saat ini banyak pria yang tidak berani menggunakan pakaian di luar norma cisgender karena anggapan cara berpakaian menentukan seorang pria itu manly atau tidak.

Anggapan dari Owens dan orang-orang yang mendukung pernyatannya tersebut merupakan bentuk dari toxic masculinity (rangsangan diskriminatif). Jika seorang pria menggunakan pakaian yang berbeda dari pria pada umumnya, contohnya saja dengan menggunakan gaun atau rok, maka pria tersebut akan dianggap feminim dan tidak 'manly'. Lama kelamaan semua pria akan percaya (belief) bahwa jika menggunakan gaun, maka ia tidak manly, walaupun pada kenyataannya cara berpakaian seseorang tidak menentukan apakah seseorang tersebut manly atau tidak. Daryl Beum membuat kesimpulan bahwa sistem kepercayaan (belief) selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar, contohnya pada kasus ini adalah pernyataan Candace Owens dan orang-orang yang mendukung toxic masculinity.

Pernyataan Owens dan beberapa netizen di Twitter yang mendukungnya merupakan salah satu dampak langsung dari toxic masculinity yang tertanam dalam diri sebagai manusia dan perlahan-lahan menjadi bagian dari diri mereka. Anggapan bahwa pria tidak lagi manly karena mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang dianggap feminim menurut standar masyarakat sangatlah berbahaya dan anggapan seperti itu harus segera dihilangkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun