Mohon tunggu...
Bitter Sour Symphony
Bitter Sour Symphony Mohon Tunggu... Just ordinary girl.

Welcome to my world.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyai Topeng

27 September 2025   14:10 Diperbarui: 27 September 2025   14:10 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


 
Hari ini sudah dua kali 'Nyai' keliling di desa kami, dengan speaker butut dan koper tua yang Nyai selalu bawa menemani dirinya menari.
Lagu yang di putar tentu nya alunan gamelan Jawa yang khas.
Kami menyadari, dari postur tubuh nya Nyai bukan lah gadis muda, namun ketika menari setiap lekuk tubuh dalam tarian nya bak gadis remaja berusia 20 tahun. Kami warga desa tak pernah mengetahui wajah Nyai, bahkan namanya pun kami tidak tahu. Warga desa disini senantiasa menyebutnya "Nyai Topeng", Ia sangat pandai menari tarian topeng, ada beberapa jenis topeng yang Ia selalu bawa di koper nya. Ada yang berwarna putih, merah, hitam dengan beberapa corak khas dari setiap topeng nya.
Kami sebagai warga desa tentunya sangat terhibur apabila Nyai datang untuk menari, tak lupa kami siapkan uang receh untuk sawer, tak jarang uang tak receh pun kami beri secara ikhlas.
 
"Nyai, hari ini kau akan menari menggunakan topeng warna apa?" Tanya salah satu warga kepada nya saat sedang bersiap-siap.
Biasanya sebelum menari, ia memakai topeng khusus polos berwarna putih, pada topeng tersebut nampak 2 corak menyerupai tahi lalat di pipi.
" Aku durung tau" jawab Nyai menggunakan bahasa Jawa.
"Bukan aku yang memilih mereka, tapi mereka lah yang memilih aku" lanjut Nyai menjelaskan.
 
Kami tak paham maksud Nyai saat Ia berkata demikian,
 
Musik gamelan khas pun di putar, rupanya topeng berwarna merah lah yang Nyai pakai pada hari ini.
Semua mata tertuju pada Nyai, decak kagum para warga desa tak bisa di tutupi, sesekali mereka memberikan tepuk tangan dan pancaran mata berbinar, seolah terbuai dengan setiap gerakan Nyai.
 
Nyai melenggak-lenggok dengan sangat anggun, setiap gerakan yang Ia lakukan sepertinya sudah hafal, tak ada satu gerakan pun yang salah. Lantunan gamelan seakan menyatu dengan tarian Nyai.
 
Sementara itu dari kerumunan warga desa disana terlihat 2 orang pemuda yang sedang membicarakan Nyai,
 
"Saya penasaran, sebenarnya Nyai Topeng itu seperti apa ya Dil?" Tanya Ableh pada Bedil.
"Saya sih tidak penasaran Bleh, buat saya melihat Nyai menari saja sudah mempesona." Jawab Bedil
"Ya mosok sih sampeyan ora penasaran?"
" Ora, dil"
"Ya wes, nanti setelah Nyai sudah selesai menari mau ku tanya, Awas ya kalau sampeyan ikut." Lanjut Ableh pada Bedil
"Memang sampeyan mau nanya opo?"
"Lah, kepo hahaha"
"Asu !"
 
40 menit berlalu pertunjukan Nyai pun selesai, Topeng merah yang ia kenakan saat menari belum Ia lepas.
Warga desa sudah meninggalkan lapangan, beberapa sudah siap-siap menuju masjid terdekat untuk Sholat.
 
Ableh pun mendatangi Nyai, sedikit berlari memanggilnya dan bertanya.
 
"Nyai.. nyai topeng"
Nyai menoleh, namun hanya terdiam tak merespon.
 
"Maaf Nyai, Anuu.. apakah saya boleh melihat wajah cantik Nyai?" Ucap Ableh dengan sangat jelas.
 
Nyai masih diam tak merespon.
"Nyai, Aku 'njaluk sampeyan copot topeng.. iso ora?" Ucap nya lagi.
Nyai tak memberi respon dan hendak pergi meninggalkan Ableh.
"Nyai kok situ sombong"
"Nyai Topeng, muka situ jelek ya? Seperti topeng merah yang situ kenakan" ucap Ableh sedikit marah mungkin karena kecewa keinginan nya tak terpenuhi.
 
Namun secara tiba-tiba Ableh menahan Nyai untuk pergi dengan menarik lengan nya.
Tarikan itu pun Nyai tepis,
"Maaf Nyai.. Saya 'ndak bermaksud." kata Ableh.
Angin tiba-tiba berhembus kencang..
 
Seketika Nyai menari tak di iringi lagu, Ia menari tarian topeng yang berbeda dari apa yang sebelumnya Ia tunjukan pada kami.
Tarian tak kunjung berhenti, tempo menari Nyai pun semakin cepat, Ableh yang terpesona pada tarian pertama, sontak merasakan aura ngeri dari Nyai Topeng. Ableh pun berlari menjauh sekuat tenaga meninggalkan Nyai
 
Keesokan hari nya, Nyai Topeng kembali mengunjungi desa pada pukul 5 sore sebgaimana biasanya Ia menyiapkan "segala nya" sebelum tampil.
 
Segala yang Ia siapkan untuk tampil, juga termasuk dalam ritual kecil yang hampir setiap saat Ia lakukan saat hendak menari, jika kami perhatikan ritual tersebut seperti Nyai membaca beberapa doa khusus, dan menyebutkan beberapa nama yang tak jelas kami mendengarnya.
 
Kali ini Nyai menggunakan topeng berwarna putih, Ia menari dengan sangat anggun, tempo tarian yang Nyai tunjukan pun sangatlah pelan, namun indah menyatu dengan lantunan gamelan.
Sesekali dalam tarian nya, Nyai menggoda beberapa pemuda yang ada.
 
"Bleh, bleh tumben situ ora semangat?" Kata Bedil pada Ableh.
"Ih wedi aku Dil"
"Wedi karo opo toh?" Tanya Bedil kembali
"Sampeyan belum tahu opo yang kemarin aku lihat Dil... brrrr aku wedi, merinding" Jawab Ableh menjelaskan dengan rasa takut yang sama seperti kemarin.
"Yo wes yo wes, nanti tak ceritakan yo"
 
Tarian belum berakhir, terlihat saweran Nyai sudah terkumpul sangat banyak.
 
Kami sangat terhibur melihat tarian Nyai Topeng hari ini,
Ketukan irama terakhir pun berakhir, warga desa sudah meninggalkan pendopo. Nyai Topeng nampak masih duduk bersila di hadapan sesajen dan dupa yang Ia nyalakan sebelum tarian di mulai. Ia sedang mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa Jawa halus.
 
"Dewi Sekataji, Rumyang, wahai Kelana terimakasih untuk hari ini.." Ucap Nyai pada topeng-topeng nya.
Iya mengusap lembut topeng-topeng nya saat hendak ia kembalikan pada koper.
 
Tak di duga Bedil dan Ableh saat itu menyaksikan nya dari jauh, mereka merasa ada hal aneh pada diri Nyai Topeng, terlepas dari cerita yang di ceritakan Ableh tempo hari.
 
Nyai Topeng menyadari ada dua pemuda yang mengintip diam-diam di balik pohon, Ia pun menoleh seolah mata di balik topeng merah nya menatap tajam Ableh dan Bedil.
Ableh dan Bedil terkejut mereka hendak berlari namun kaki mereka seketika tak bisa di gerakan.
"Dil dill... ini sikil ku gak mau gerak toh"
"Aku pun Bleeh!" Kata mereka berdua panik dan bergetar
Tak lama terdengar lantunan gamelan yang entah dari mana sumber nya. Nyai Topeng pun berlenggak-lenggok mendekati dua pemuda itu.
 
"Aku takuttt bleh.. !! Astagfirullah,
Nyaiii ampun Nyaii!!" teriak Bedil mendapati Nyai Topeng sudah sangat dekat menari-nari di hadapan keduanya.
"Tutup mataaaa dill, tutup mataa!" teriak Bedil
Suasana saat malam itu berubah mencekam
 
Nyai Topeng tak menghentikan tariannya, Ia mengganti topeng nya dengan warna hitam. Hitam dengan corak putih, topeng hitam tersebut tidak lah menampakan aura kecantikan.
 
Tak lama ia mengucapkan bahasa Jawa halus di sela-sela tarian nya, tak ada yang mengerti bahasa nya. Ableh dan Bedil terdiam dada nya terasa sesak, tubuh kedua nya menjadi sangat kaku tak ada satu kalimat apapun yang dapat mereka ucapkan kembali.
 
"Sepertinya aku mau mati dil...!!" Kalimat terakhir Ableh.
 
Nyai Topeng menghampiri kembali kedua pemuda itu di bawakan lah 2 topeng putih polos, dengan berlenggak-lenggok di pasangkan lah pada 2 topeng pada dua pemuda itu, sambil mengucap mantra-mantra Jawa.
"Rahayu, Panji putra kanjeng ratuu...." Teriak Nyai pada 2 pemuda itu.
 
Secara ajaib dua pemuda itu ikut menari, berlenggak-lenggok dengan gerakan yang 'luwes' mengikuti tempo irama gamelan.
 
Tak ada yang mampu menghentikan tarian mereka bertiga pada malam itu, tarian yang sangat mengerikan dan cukup aneh apabila dipikirkan dengan logika.
 
Tak lama Nyai Topeng berhenti dan kembali duduk bersila, sementara 2 pemuda itu masih saja menari,
Ia berkata "Sampean sudah di pilih Kanjeng Ratu.."
"Topeng Panji yang Saya pakai kan pada sampean itu melambangkan bayi yang baru lahir, polos dan suci" Ucap Nyai di selingi dengan tawa yang menakutkan.
"Hahaha..haha"
 
Sejak kejadian malam kelam itu Nyai Topeng tak pernah terlihat keliling untuk menari di Desa, berikut pun dengan dua pemuda itu.
Ableh dan Bedil pun hilang tanpa jejak, semua warga desa pun tak ada yang curiga.
Kami warga desa hanya menyayangkan hiburan malam yang biasanya kami dapatkan, harus berakhir selepas kepergian Nyai Topeng.
 
 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun