Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ancaman Kesejatian Diri Manusia dari Opini Masa Kini

12 Februari 2018   21:14 Diperbarui: 13 Februari 2018   20:33 1918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: thehumanist.com)

Jika kita baca semua berita dan artikel opini di dalam media massa, rasanya 24 jam sehari tidak akan cukup untuk menyelesaikannya. Betapa banyak informasi dan opini yang berseliweran di ranah dunia maya. Bagi sebagian orang, beropini sudah merupakan menu harian dan menuliskannya di berbagai media. Sementara bagi sebagian lain, cukup hanya dengan membacanya.

Saat ini sangat sukar menentukan mana yang merupakan opini dan mana yang merupakan fakta. Satu fakta kadang sudah bercampur dengan beragam opini dari massa. Satu fakta kadang sudah tidak murni lagi sebagai peristiwa. Berkelit kelindan antara pemahaman dan kenyataan sudah menjadi ciri dari sajian media massa saat ini.

Animale rationale sudah menjadi kenyataan di zaman sekarang. Bukti bahwa manusia merupakan makhluk yang dibekali dengan kemampuan pikir dan rasionalisasi. Rasionalisasi yang terkadang menjungkirbalikan kebenaran menjadi kenyataan yang buram. Kekaburan dan kesuraman dari satu peristiwa seolah menjadi fakta yang sebenarnya.

Simbolisme dengan Makna Baru

Inikah zaman informasi? Informasi yang sarat dengan interpretasi. Interpretasi yang tidak akan berhenti mengikuti segala opini. Masyarakat luas seolah dibentuk kepribadian dan mentalitasnya dengan sajian informasi yang bersifat opini. Jati dirinya seakan tercabut dari akarnya setelah mereka menyantap informasi.

Kartu kuning yang selama ini kita tahu menjadi alat untuk menyimbolkan pelanggaran dalam pertandingan sepak bola, kini telah menjadi simbol dengan makna yang sangat mengguncang kemapanan persepsi. Tidak ada lagi batasan pemaknaan kartu kuning hanya sebatas di lapangan sepak bola. Kartu kuning sudah menjadi media tersendiri untuk menggambarkan fenomena satu kinerja pemerintah di satu negara.

Selembar kartu kuning sudah menjadi berita nasional yang berkelanjutan. Isu-isu berkaitan erat dengannya seolah tidak berkesudahan. Makna-makna baru diselipkan ke dalamnya sehingga menjadikannya sebagai satu kekuatan penggerak opini massa di lapangan. Nilai dan ukuran moral, produktivitas kerja, efektivitas dan efisiensinya juga ikut terwakili oleh selembar kartu tersebut.

Bukan hanya warga biasa atau wasit di lapangan sepak bola yang menggunakan kartu kuning itu sebagai simbol pergerakan opini bersama, namun juga para politisi tidak mau ketinggalan untuk mengacungkannya walau dengan warna-warna yang berbeda. Warna merah, warna hijau menjadi pilihan lain dari kartu yang acungkan. Namun sebenarnya substansinya sama; mendukung, memperingatkan bahkan menghukum.

Viral dari dan ke Periferal

Jika zaman dahulu opinion maker biasanya para tokoh terkenal ataupun selebritis, namun zaman sekarang sudah tidak ada lagi monopoli semacam itu. Siapa pun warga bisa membuat opini yang memiliki sifat gerak dari pusat ke pinggiran dalam pengertian yang lebih luas. Pusat tidak lagi menjadi pusat secara geografis. Pusat sekarang berarti sumber awal sebuah opini itu muncul yang kemudian bergerak ke pinggiran.

Kita tahu suku Asmat adalah suku yang berada jauh di pinggiran pusat kekuasaan secara politis ataupun secara geografis. Namun kekuatannya sudah mengalahkan hiruk pikuk beragam opini yang bertebaran di pusat-pusat pemerintahan. Sisi kemanusiaan ternyata masih mampu menggerakkan opini masyarakat untuk tidak hanya melulu terfokus pada urusan politik yang melelahkan yang ada di pusat kekuasaan.

Viral dari ruang kantor Cukai di satu bandara, mampu memengaruhi kebijakan di pusat negara. Luar biasa kekuatan viral dan gerakan periferal ini. Isu-isu yang diusungnya pun tidak lagi sebatas isu-isu basi tentang pertarungan politik dan kekuasaan. Namun isu-isu kebudayaan, lingkungan, kemanusiaan sampai isu-isu musibah dan kecelakaan lalulintas.

Bermula dari sekedar keisengan jari-jemari, kini sudah mampu membuat guncangan di seantero negeri. Inilah opini yang dibawa oleh zaman informasi masa kini. Hampir sulit untuk bisa menyembunyikan diri dari "pengawasan" virtual yang matanya memelototi setiap gerak gerik rakyat dan penguasa. Mata yang hampir-hampir menjadi pengawas bagi kehidupan manusia.

Ancaman Eksistensi Diri

Presiden Jokowi satu waktu pernah mengatakan bahwa jangan sampai anak-anak kita dididik oleh HP. Ini bermakna bahwa satu benda di genggaman sudah beralih fungsi menjadi guru dan pendidik anak di masa datang jika tidak dikendalikan. Mentalitas dan sikap akan terbentuk dengan sendirinya setelah anak menjadikan perangkat tersebut sebagai "teman sejati" dalam hidupnya.

Seperti itulah yang dikhawatirkan oleh seorang ilmuwan sekelas Stephen Hawking ketika mengatakan bahwa manusia kini sedang terancam eksistensinya oleh  Artificial Intelligence (AI). Satu teknologi yang ironisnya merupakan hasil dari inovasi dan kreasi manusia itu sendiri. Hal yang aneh sebenarnya jika apa yang kita buat kemudian akan membuat manusia "sekarat" dari kemanusiaannya.

Tidak jarang kita mendapati adanya tindakan kriminal atau tindakan asusila yang disebabkan oleh pengaruh dari satu benda yang ada di genggaman  tersebut. Benda yang telah merampas dan mengambil alih rasionalitas, kritisisme dan humanisme kita sebagai manusia. Tidak hanya itu, melalui benda di genggaman itu, tingkat kepedulian sosial pun seolah ikut runtuh dan mengalami penurunan.

Masihkah manusia memiliki kesadaran sebagai manusia yang tidak dipengaruhi oleh beragam opini, tafsir, simbolisasi, viral dan seonggok benda di genggaman? Masihkan manusia mampu memunculkan jati diri kemanusiaannya dari dalam dirinya sendiri tanpa harus mengikuti opini, interpretasi dan model yang muncul dari benda di genggaman itu? Biarlah waktu yang akan memberikan jawabannya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun