Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jakarta di Mata Orang Daerah Seperti Saya

27 Januari 2018   01:44 Diperbarui: 31 Januari 2018   20:07 2939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak kenal Jakarta? Semua warga Indonesia mengenal kota Jakarta. Cara mereka mengenal Jakarta tentu bermacam-macam. Ada yang mengenal lewat media massa, ada yang mengenal ketika mengunjungi sanak saudara, ada yang mengenal melalui kerja dan mencari nafkah di sana dan ada yang mengenal melalui belajar seperti saya.

Secara pribadi saya sendiri kenal langsung Jakarta tidak lebih dari enam bulan lamanya sejak masa kuliah dimulai bulan Agustus kemarin sampai sekarang. Waktu yang tentu tidak cukup untuk menjelajahi seluruh pelosok Jakarta. Apalagi mengenal adat istiadat dan budaya warga asli Jakarta (Betawi).

Terlepas dari itu semua, selaku pendatang yang menetap sementara di kos sekedar untuk tidak kehujanan dan kepanasan, Jakarta telah begitu kuat mempengaruhi diri dan kejiwaan saya. Kejiwaan dalam arti emosi positif atau emosi negatif. Lumrah saja hal ini terjadi pada siapa saja yang sedang berusaha untuk beradaptasi di suatu kota.

Jakarta dan Cita-cita Anak Bangsa

Keberadaan saya di Jakarta dalam rangka dinas belajar dari satu Kementerian tempat saya bekerja. Dinas belajar yang mengharuskan saya untuk menetap dalam rangka mempelajari ilmu dan pengetahuan yang sesuai dengan profesi dan pekerjaan pribadi.

Jika dilihat dari sudut pandang ini, Jakarta adalah kota di mana harapan dan cita-cita anak bangsa dapat diwujudkan. Menambah ilmu berarti menambah keterampilan terkait profesi. Tambah keterampilan dalam profesi berarti tambah sejahtera hidupnya. Begitu kira-kira alur sebab akibatnya.

Di mata saya, tidak ada kota yang merupakan pusat segala macam kebudayaan dan pusat peradaban nasional di Indonesia ini kecuali di Jakarta. Di sana berkumpul pusat-pusat pemerintahan tingkat nasional, kampus-kampus mentereng dan bergengsi, pusat-pusat ekonomi sampai pusat hiburan malam pun ada di sana (katanya, karena saya sendiri belum pernah mengunjungi).

Tentu saja bagi "orang udik" seperti saya, ini sesuatu yang membanggakan. Membanggakan karena bisa melihat langsung segala sesuatu yang selama ini hanya bisa dilihat melalui tipi atau berita di media massa. Sederhana sekali bukan? Tapi itulah kenyataannya bagi siapa pun yang selama hidupnya tidak pernah menetap dalam waktu lama di Jakarta.

Terkait cita-cita, kebanggaan lain adalah bisa bertemu dengan tokoh-tokoh skala nasional bahkan skala internasional. Bisa berjabat tangan, berhadap-hadapan sampai bisa menimba ilmu secara tatap muka langsung dengan mereka. Bukankah ini juga membanggakan bagi "orang udik" seperti saya?

Cita-cita itulah yang mengantarkan saya untuk menginjakkan kaki di Jakarta dan kemudian menemukan sesuatu yang benar-benar baru dalam kehidupan yang selama ini belum pernah ditemui di daerah tempat asal.

Masih terkait cita-cita ini, menginjakkan kaki di Jakarta, bagi saya seperti menginjakkan kaki di dermaga. Lewat dermaga itu kita bisa menyeberangi lautan untuk mengarungi luasnya dunia yang ada di luar sana. Dorongan emosional ini begitu kuatnya dalam benak dan jiwa (sok-sok idealis sedikit).

Tetapi itulah Jakarta bagi saya. Memberikan dorongan untuk terus melangkah menjelajahi cakrawala dan semesta di luar sana (agak-agak didramatisasi). Jakarta adalah pintu gerbang dunia. Jakarta adalah kendaraan yang bisa mengantarkan kita ke tujuan nun jauh di sana (lewat Bandara Soeta tentunya).

Jakarta dan Emosi Diri

Jauh dari keluarga, jauh dari saudara dan sendirian di Jakarta memberikan nuansa lain bagi emosi dan jiwa. Kemandirian dan kesabaran menjadi modal penting ketika menginjakkan kaki di kota itu. Persiapan mental juga dibutuhkan jika ingin survive di Jakarta.

Bayangkan saja jika sebelumnya di rumah, pakaian tinggal pakai, makanan tinggal makan, minuman tinggal minum karena sudah tersedia, sekarang harus menjadi "jomblo sibuk" di negeri orang. Mencuci, mencari makan, mencari jajanan, minuman dan hal-hal sepele lainnya sekarang harus dikerjakan sendiri di tengah-tengah tugas dan kewajiban utama (ini bukan lebay, tapi fakta).

Semua hal itu menjadi salah-satu urusan bidang ketahanan dan kesabaran mental dan emosi. Ketahanan ini akan diuji kembali apabila bepergian dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta. Siapa yang tidak kenal Jakarta sebagai kota termacet di Indonesia? Termacet ke 3 di Asia Tenggara dan masuk 10 besar termacet di dunia.

Bagi orang daerah seperti saya, ini kejutan lain mengenai Jakarta. Selama ini macetnya Jakarta hanya dilihat dan didengar lewat media saja. Namun sekarang mengalami sendiri. Ada rasa jengkel tiba-tiba ketika merasakan kemacetan di Jakarta. Di daerah, kemacetan tidak separah seperti di Jakarta. Jadi hal ini juga membutuhkan adaptasi dan penyesuaian dalam mental dan emosi.

Ternyata di Jakarta, kelelahan itu bukan hanya disebabkan karena bekerja, namun juga karena diam menunggu terurainya kemacetan. Bagi saya yang selama puluhan tahun di daerah, macet selama dua jam di satu titik adalah hal yang tidak masuk akal. Sebegitunya ternyata. Selama berjam-jam kendaraan bergerak hanya sepanjang 10 sampai 100 meter.

Terlepas dari itu semua, Jakarta sudah mengajari cara "bersabar versi baru" bagi saya. Jakarta juga mengajari teknik mengendalikan lonjakan emosi yang tiba-tiba. Kepasrahan dan serah diri pada kenyataan (macet) adalah pelajaran penting bagi saya selama di Jakarta. Ini terbukti ampuh menambah keimanan dan tawakal terhadap keadaan (lagi-lagi lebay keluar).

Jakarta dan Harapan Ekonomi

Hal yang saya lihat tentang fenomena Jakarta dari sisi ekonomi seolah membenarkan berita-berita riwayat urbanisasi. Di Jakarta banyak ditemui para pelancong daerah yang mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di depan kampus, di pinggir jalan, siang, malam selalu diramaikan oleh para pendatang dari daerah yang menjajakan dagangannya.

Begitu kuatnya Jakarta menyedot orang-orang dari daerah sampai-sampai saya menemukan pengalaman sewaktu keluar dari Bandara Soeta naik Damri menuju tempat kediaman sementara di kos.

Seorang anak baru lulus SMK dari daerah pelosok Medan Sumatera Utara, sudah berani melancong ke Jakarta untuk mencari kerja. Itu pun baru pertama kalinya dia ke Jakarta. Sedangkan yang bersangkutan juga tidak tahu apa yang akan dikerjakan,  di mana dia bekerja. Pokoknya "yang penting saya ke Jakarta", begitu katanya ketika saya tanya.

Rupa-rupanya dia mau mengikuti jejak saudaranya yang sudah lebih dulu berada di Jakarta. Tampaknya ini bukti urbanisasi tanpa agenda (karena terjadi bukan setelah lebaran). Hanya harapan mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baiklah yang mendorongnya meninggalkan kampung halamannya di Medan sana.

Padahal kita tahu bahwa kota Medan juga termasuk salah satu kota besar di Indonesia. Namun ternyata kota itu tidak menarik minatnya untuk menetap dan bekerja di sana. Kesuksesan di perantauan sudah membuatnya "nekat" terbang menuju Jakarta. Begitulah magnet Jakarta di mata orang daerah.

Jakarta Memang Luar Biasa

Seperti itulah Jakarta di mata kami orang daerah. Hiruk pikuk politik yang ada di kota itu seolah tidak menyurutkan orang-orang daerah untuk menyandarkan masa depannya ke Jakarta. Keadaan yang tidak membuat kami mundur untuk mencari peningkatan kualitas hidup melalui berbagai jalan; jalan pendidikan dan jalan pekerjaan.

Di Jakarta menumpuk orang-orang daerah dengan sejuta harapan. Harapan masa depan cerah. Masa depan membahagiakan meskipun terkadang harapan itu sirna ketika yang bersangkutan tidak bisa bertahan. Tidak bisa bertahan dikarenakan persaingan ketat, minimnya keterampilan dan penyebab lainnya.

Bagi sebagian orang, kesuksesan Jakarta akan membuatnya untuk menjadikannya sebagai rumah kedua. Ini merupakan indikasi dan parameter kesuksesannya mengubah nasib. Barangkali pendatang tipe inilah yang membuat pusing Gubernur Jakarta untuk menertibkannya.

Sementara bagi pendatang seperti saya yang hanya sementara waktu, Jakarta menjadi tempat mengembangkan diri yang pada saatnya nanti setelah selesai proses yang dilalui, harus kembali ke daerah. Kembali untuk "mengamalkan" apa yang diperoleh di Jakarta untuk membangun daerah (idealis lagi). Selain itu kembali ke daerah juga untuk mengurangi beban populasi di Jakarta.

Harapan kami bagi Jakarta, tetaplah tertib dan bebas dari konflik apa pun bentuknya. Siapa pun pimpinannya, Jakarta tetap harus aman sentosa. Karena kami orang daerah begitu besar menaruh harapan kesuksesan kepada Jakarta ini sesuai dengan jalan hidupnya masing-masing. Jaya selalu Jakarta. Seperti namamu dahulu kala; Jayakarta.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun