Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jakarta di Mata Orang Daerah Seperti Saya

27 Januari 2018   01:44 Diperbarui: 31 Januari 2018   20:07 2939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi itulah Jakarta bagi saya. Memberikan dorongan untuk terus melangkah menjelajahi cakrawala dan semesta di luar sana (agak-agak didramatisasi). Jakarta adalah pintu gerbang dunia. Jakarta adalah kendaraan yang bisa mengantarkan kita ke tujuan nun jauh di sana (lewat Bandara Soeta tentunya).

Jakarta dan Emosi Diri

Jauh dari keluarga, jauh dari saudara dan sendirian di Jakarta memberikan nuansa lain bagi emosi dan jiwa. Kemandirian dan kesabaran menjadi modal penting ketika menginjakkan kaki di kota itu. Persiapan mental juga dibutuhkan jika ingin survive di Jakarta.

Bayangkan saja jika sebelumnya di rumah, pakaian tinggal pakai, makanan tinggal makan, minuman tinggal minum karena sudah tersedia, sekarang harus menjadi "jomblo sibuk" di negeri orang. Mencuci, mencari makan, mencari jajanan, minuman dan hal-hal sepele lainnya sekarang harus dikerjakan sendiri di tengah-tengah tugas dan kewajiban utama (ini bukan lebay, tapi fakta).

Semua hal itu menjadi salah-satu urusan bidang ketahanan dan kesabaran mental dan emosi. Ketahanan ini akan diuji kembali apabila bepergian dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta. Siapa yang tidak kenal Jakarta sebagai kota termacet di Indonesia? Termacet ke 3 di Asia Tenggara dan masuk 10 besar termacet di dunia.

Bagi orang daerah seperti saya, ini kejutan lain mengenai Jakarta. Selama ini macetnya Jakarta hanya dilihat dan didengar lewat media saja. Namun sekarang mengalami sendiri. Ada rasa jengkel tiba-tiba ketika merasakan kemacetan di Jakarta. Di daerah, kemacetan tidak separah seperti di Jakarta. Jadi hal ini juga membutuhkan adaptasi dan penyesuaian dalam mental dan emosi.

Ternyata di Jakarta, kelelahan itu bukan hanya disebabkan karena bekerja, namun juga karena diam menunggu terurainya kemacetan. Bagi saya yang selama puluhan tahun di daerah, macet selama dua jam di satu titik adalah hal yang tidak masuk akal. Sebegitunya ternyata. Selama berjam-jam kendaraan bergerak hanya sepanjang 10 sampai 100 meter.

Terlepas dari itu semua, Jakarta sudah mengajari cara "bersabar versi baru" bagi saya. Jakarta juga mengajari teknik mengendalikan lonjakan emosi yang tiba-tiba. Kepasrahan dan serah diri pada kenyataan (macet) adalah pelajaran penting bagi saya selama di Jakarta. Ini terbukti ampuh menambah keimanan dan tawakal terhadap keadaan (lagi-lagi lebay keluar).

Jakarta dan Harapan Ekonomi

Hal yang saya lihat tentang fenomena Jakarta dari sisi ekonomi seolah membenarkan berita-berita riwayat urbanisasi. Di Jakarta banyak ditemui para pelancong daerah yang mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di depan kampus, di pinggir jalan, siang, malam selalu diramaikan oleh para pendatang dari daerah yang menjajakan dagangannya.

Begitu kuatnya Jakarta menyedot orang-orang dari daerah sampai-sampai saya menemukan pengalaman sewaktu keluar dari Bandara Soeta naik Damri menuju tempat kediaman sementara di kos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun