Mohon tunggu...
Alwathoni Mahbub
Alwathoni Mahbub Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan

Pembelajar sepanjang hayat merindukan Indonesia yang sejahtera dan bermartabat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Era Ketidakpastian: Ajarkan Anak Menjadi Navigator Ulung Bukan Hanya Penumpang

2 Juli 2025   08:53 Diperbarui: 8 Juli 2025   09:00 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ajarkan Anak Menjadi Navigator Ulung Bukan Hanya Penumpang

Dunia berubah lebih cepat dari yang pernah kita bayangkan. Kecerdasan buatan (AI) yang segera menggantikan profesi, perubahan iklim yang menuntut cara hidup baru, dan konektivitas global yang membawa tantangan sekaligus peluang, adalah sebagian kecil dari realitas yang dihadapi generasi anak-anak kita. Bagi orang tua yang saat ini menatap putra-putrinya di bangku sekolah dasar, pertanyaan yang paling menggelisahkan bukanlah "Anakku akan jadi apa?", melainkan "Bagaimana agar anakku siap menghadapi apa pun yang akan terjadi?"Kecemasan ini wajar. Beberapa keberhasilan atau kesuksesan yang selama ini diharapkan, seperti sekolah yang bagus dan bergengsi, prestasi akademik yang tinggi dan sempurna, atau mendapatkan pekerjaan kantoran yang layak, saat ini mulai dipertanyakan. Masa depan tidak lagi sebuah jalur lurus yang dapat dipetakan dan dipastikan, melainkan samudra luas yang tak menentu. Tahun ini dan dua puluh tahun yang akan datang akan sangat berbeda dan tak seorangpun mampu meramalkannya. Kita telah menjadi saksi, bagaimana tahun ini ternyata sangat berbeda dengan ramalan beberapa ahli dua puluh tahun yang lalu. Oleh karena itu, tugas kita sebagai orang tua bukan lagi menjadi arsitek yang merancang cetak biru kehidupan dan masa depan anak, melainkan menjadi instruktur handal yang membekali mereka dengan kompas internal dan kemampuan diri untuk membangun rakit mereka sendiri di tengah badai. Persiapan ini tidak berfokus pada hafalan rumus atau pengetahuan spesifik, melainkan pada penanaman fondasi karakter, kesehatan mental dan keterampilan yang adabtable.

Saran terbaik yang pertama dan paling fundamental adalah menggeser fokus dari kecerdasan akademis semata ke kecerdasan emosional dan sosial. Di dunia yang semakin ter-automatisasi, kemampuan yang membedakan manusia dari mesin adalah empati, regulasi diri, dan kolaborasi. Ajarkan anak-anak kita untuk mengenali dan mengelola emosinya. Saat ia marah atau kecewa karena kalah bermain, jangan buru-buru mengalihkan perhatiannya. Sebaliknya, validasi perasaannya: "Adik marah, ya?, Tidak apa-apa kalau merasa seperti itu. Yuk, kita tarik napas sama-sama." Dengan demikian, anak belajar bahwa semua emosi adalah valid dan ia memiliki kendali untuk meresponsnya secara konstruktif. Dorong ia untuk memahami sudut pandang temannya, menyelesaikan konflik dengan dialog, dan bekerja dalam tim. Kemampuan ini akan menjadi aset tak ternilai saat ia harus bekerja dengan orang dari berbagai latar belakang untuk memecahkan masalah kompleks yang belum pernah ada sebelumnya.

Kedua, bangun daya lenting (resiliensi) sebagai pilar utama. Masa depan yang tidak pasti menjamin adanya kegagalan, penolakan, dan perubahan rencana. Anak yang terbiasa selalu berhasil dan dipuji akan rapuh saat menghadapi benturan-benturan pertama. Izinkan anak mengalami kegagalan dalam lingkungan yang aman. Biarkan ia salah saat mengerjakan tugas, kalah dalam perlombaan, atau merasa kesulitan membangun mainan baloknya. Peran kita bukan untuk mencegah kegagalan, tetapi untuk mendampinginya saat itu terjadi. Alih-alih berkata, "Sudah, biar Ayah saja yang kerjakan," cobalah berkata, "Wah, sepertinya cara ini tidak berhasil. Menurutmu, apa yang bisa kita coba selanjutnya?".  Bingkai ulang kegagalan bukan sebagai akhir dari permainan, melainkan sebagai data berharga untuk percobaan berikutnya. Anak yang tangguh tidak takut mencoba hal baru karena ia tahu bahwa jatuh adalah bagian dari proses belajar berjalan.

Ketiga, pelihara rasa ingin tahu sebagai mesin pembelajaran seumur hidup. Di era informasi, akses terhadap pengetahuan nyaris tak terbatas. Pemenangnya bukanlah mereka yang paling banyak mengetahui, melainkan mereka yang paling gigih bertanya dan belajar. Saat anak bertanya "mengapa langit biru?" atau "bagaimana cara kerja internet?", jangan hanya memberikannya jawaban singkat. Jadikan itu sebagai petualangan bersama dalam olah pikir. Cari jawabannya di buku atau internet, lakukan eksperimen sederhana, atau kunjungi museum. Dorong minatnya pada berbagai bidang, bahkan yang tampak sepele. Hobi merakit robot, mengoleksi daun kering, atau menulis cerita fantasi adalah gimnasium (gym) bagi otak yang melatih kreativitas, pemecahan masalah, dan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan untuk terus belajar secara mandiri adalah satu-satunya cara untuk tetap relevan di pasar kerja yang terus berubah.

Keempat, ajarkan literasi digital dan finansial sejak dini. Anak-anak kita adalah digital native (tumbuh dan berkembang di era digital), tetapi kemahiran menggunakan gawai tidak sama dengan literasi digital. Mereka perlu dibekali kemampuan berpikir kritis untuk membedakan informasi kredibel dari hoaks, memahami jejak digital, dan menjaga privasi di dunia maya. Jadikan teknologi sebagai alat untuk berkreasi (membuat video, coding sederhana, desain grafis), bukan sekadar untuk konsumsi pasif. Di sisi lain, literasi finansial menjadi krusial di tengah tren gig economy dan kewirausahaan. Ajarkan konsep menabung, membedakan keinginan dan kebutuhan, serta nilai dari uang melalui uang saku. Melibatkan mereka dalam perencanaan anggaran sederhana untuk liburan keluarga dapat menjadi pelajaran praktis yang sangat berharga.

Pada akhirnya, persiapan yang terbaik adalah kita sebagai orang tua menjadi teladan bagi mereka.  "Anak-anak lebih banyak belajar dari apa yang kita lakukan daripada apa yang kita katakan". Tunjukkan pada mereka bagaimana kita menghadapi stres, beradaptasi dengan perubahan, mengakui kesalahan, dan terus belajar hal baru. Rumah harus menjadi laboratorium keluarga yang aman bagi mereka untuk bereksperimen, gagal, dan tumbuh.

Mempersiapkan anak untuk masa depan yang tidak menentu memang terdengar menakutkan. Namun, dengan melepaskan obsesi kita pada hasil akhir yang spesifik dan berfokus pada proses pembentukan individu yang adaptif, berempati, tangguh, dan penuh rasa ingin tahu, kita memberikan mereka bekal terbaik. Kita tidak sedang memberi mereka peta, tetapi kita sedang mengajari mereka cara membaca bintang, mengemudikan kapal, dan menavigasi samudra kehidupan mereka sendiri, apa pun badai yang mungkin akan mereka hadapi. (Mahbub Alwathoni, 2025).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun