Belakangan ini, dunia pendidikan Indonesia ramai menggunakan istilah deep learning sebagai bagian dari pendekatan pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka. Dalam berbagai dokumen resmi, pelatihan guru, hingga modul ajar, istilah ini digunakan untuk menggambarkan pembelajaran yang mendalam, bermakna, dan berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, pemakaian istilah deep learning oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyimpan masalah serius secara konseptual dan semantik.
Permasalahan utama terletak pada ketidaksesuaian antara makna deep learning dalam literatur pendidikan global—terutama sebagaimana dirumuskan oleh Michael Fullan—dengan penerapan istilah tersebut di Indonesia. Di satu sisi, Kemendikbudristek mengadopsi istilah yang terdengar progresif dan berwawasan global. Di sisi lain, isi dan praktik dari istilah tersebut mengalami penyempitan makna, bahkan penyimpangan dari konsep aslinya.
Michael Fullan, pakar pendidikan asal Kanada yang juga dikenal sebagai arsitek reformasi pendidikan berbasis sistem, mengembangkan konsep deep learning sebagai transformasi mendalam dalam pembelajaran. Deep learning menurut Fullan bukan sekadar pemahaman mendalam terhadap materi pelajaran, melainkan sebuah perubahan paradigma pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai agen perubahan sosial dan warga global yang aktif dengan mengusung enam kompetensi global (6C): karakter (character), kewarganegaraan (citizenship), kolaborasi (collaboration), komunikasi (communication), kreativitas (creativity), dan berpikir kritis (critical thinking). Dalam kerangka ini, deep learning adalah pendekatan yang menumbuhkan kemampuan berpikir lintas-disiplin, empati sosial, inovasi, dan kemampuan berkontribusi dalam memecahkan masalah dunia nyata.
Namun, yang terjadi dalam kebijakan pendidikan Indonesia justru menyederhanakan makna deep learning menjadi sekadar proses berpikir tingkat tinggi (HOTS), memahami materi lebih dalam, dan melakukan pembelajaran berbasis proyek. Dalam modul ajar dan pedoman pembelajaran, deep learning sering didefinisikan sebagai "pembelajaran bermakna yang memungkinkan siswa menguasai konsep dan menerapkannya dalam konteks berbeda". Meskipun pendekatan ini tidak sepenuhnya salah, ia telah mengabaikan dimensi nilai, kebermaknaan sosial, dan transformasi diri yang menjadi inti dari kerangka Fullan.
Reduksi makna ini bukan tanpa dampak. Ketika istilah internasional digunakan tanpa pemahaman menyeluruh terhadap konteks aslinya, maka kebingungan akan muncul di kalangan praktisi pendidikan. Guru dan kepala sekolah di berbagai daerah merasa asing dengan istilah deep learning, dan ketika mereka mencoba memahami maksudnya melalui pelatihan atau modul, mereka mendapati bahwa yang dimaksud tidak jauh berbeda dari pendekatan-pendekatan lama seperti pembelajaran aktif, pembelajaran berbasis proyek, atau model konstruktivis biasa. Akibatnya, istilah yang seharusnya menjadi pendorong perubahan justru kehilangan daya transformasinya karena hanya menjadi jargon baru dari praktik lama.
Permasalahan ini mencerminkan fenomena yang lebih besar dalam dunia kebijakan pendidikan: kegemaran terhadap istilah asing atau global yang tidak diiringi dengan penyesuaian makna yang tepat. Hal ini bukan hanya kesalahan terminologis, tetapi juga mencerminkan kegagapan dalam menyelaraskan antara kebijakan dan teori pendidikan. Penggunaan istilah tanpa pemahaman mendalam terhadap konsepnya berpotensi menyesatkan arah pembelajaran, dan lebih jauh lagi, dapat membangun ilusi perubahan yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Jika pemerintah memang ingin mendorong pembelajaran yang mendalam dan kontekstual, maka perlu ada keberanian untuk menggunakan istilah yang lebih tepat dan membumi. Misalnya, jika yang dimaksud adalah penguasaan konsep secara mendalam dan keterampilan berpikir kritis, maka istilah seperti pembelajaran reflektif, pembelajaran bermakna, atau pembelajaran transformatif akan lebih sesuai. Sementara jika ingin mengadopsi deep learning dalam makna Fullan, maka perlu pula mengadopsi kerangka 6C secara menyeluruh, bukan sekadar mengambil istilahnya.
Pendidikan Indonesia membutuhkan kejujuran epistemik—kejujuran dalam mendefinisikan istilah, merancang kebijakan, dan mengevaluasi dampaknya. Istilah yang kita pakai dalam dunia pendidikan bukan hanya soal bahasa, tetapi juga menentukan arah berpikir dan cara bertindak. Ketika istilah digunakan secara keliru, maka arah pendidikan pun bisa melenceng dari tujuan aslinya.
Kurikulum Merdeka adalah peluang besar untuk mengubah wajah pendidikan kita menuju yang lebih relevan dengan tantangan abad ke-21. Namun, peluang ini akan sia-sia jika kita terjebak pada permainan istilah tanpa substansi. Sebab pada akhirnya, yang dibutuhkan pendidikan kita bukan hanya pembaruan istilah, tetapi pembaruan pemikiran yang sungguh-sungguh.
Sebagai bangsa yang tengah membangun sistem pendidikan yang otonom, kontekstual, dan merdeka dalam berpikir, kita perlu menata kembali kosa kata kita. Mari berhenti memakai istilah-istilah global hanya karena terdengar modern. Mari gunakan istilah yang mencerminkan esensi, bukan sekadar kemasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI