Penulis memprediksi bahwa arus mudik akhir tahun kali ini akan sangat besar bahkan melebihi arus mudik lebaran Idul Fitri 1441 Hijriah. Hal ini mengingat budaya mudik dan atau pulang kampung yang biasa dilakukan warga Jabodetabek setiap tahunnya, entah itu di momentum lebaran atau di momentum liburan akhir tahun. Mereka yang tidak mudik waktu lebaran yang lalu akan tergerak untuk mudik di momentum libur akhir tahun ini. Mereka yang mudik waktu itupun berkemungkinan besar akan mudik lagi. Karena walau pada saat itu mudik secara halus "dilarang" oleh pemerintah, mereka tetap ngotot mudik. Â
Tempat tujuan mudiknya orang Jabodetabek pun secara mayoritas akan tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Padahal, kasus di wilayah Jabodetabek sekarang meningkat drastis dibanding waktu mudik lebaran lalu. Jika pergerakan manusia dari kawasan Jabodetabek ke Jawa Tengah tidak bisa dicegah, maka dikhawatirkan lonjakan yang baru terjadi hanyalah awalnya. Jumlah kematian/hari dapat melonjak lebih tinggi dari yang sekarang terjadi.Â
Penulis mempunyai alasan logis untuk hal ini. Pemudik akan mudik ke tempat tujuan umumnya untuk mengunjungi orangtua dan sanak saudara di kampungnya. Jika para pemudik membawa penyakit ini dari daerah dengan penularan yang meluas seperti Jabodetabek ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah-daerah di Jateng dan Jatim yang tadinya memiliki jumlah penularan rendah akan mengalami kenaikan penularan yang signifikan. Tentunya orang pertama yang akan mereka tulari adalah keluarga mereka sendiri, khususnya orangtua dan sanak saudara mereka.Â
Masalahnya, di masa liburan ini lab-lab pemeriksaan PCR akan banyak yang tutup. Personel satuan kesehatan lokal akan menurun, lalu kinerja tracing akan menurun. Hal ini akan menyebabkan penularan yang lebih besar dan lebih besar.Â
Yang dikhawatirkan adalah ketika COVID ini mencapai mereka yang tergolong lansia, orang berkomorbid, dan orang-orang rentan COVID lainnya. Sementara, fasilitas kesehatan yang ada di daerah itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan fasilitas yang ada di DKI misalnya. Kapasitasnya pun akan terbatas, jauh lebih terbatas dari yang ada di kota-kota besar. Jika terjadi kenaikan angka pasien COVID-19 yang memerlukan perawatan, sedangkan fasilitas kesehatan lumpuh, maka lonjakan kematian akibat COVID-19 tidak akan terelakkan.