Oleh: Mahar Prastowo
Hari Sabtu sore itu, di sebuah kafe kecil di Jakarta Selatan, belasan orang duduk dengan wajah tegang. Mereka bukan sekadar tamu yang menyeruput kopi. Mereka adalah perwakilan korban dugaan penipuan PT TForce Indonesia Jaya. Jumlah kerugian yang mereka bawa dalam ransel cerita mereka: Rp 170 miliar.
Bayangkan: Rp 170 miliar. Itu setara dengan anggaran satu kabupaten kecil untuk membangun sekolah dan jalan desa selama setahun. Tapi uang itu, kata mereka, lenyap ke perusahaan yang mengaku menjalankan bisnis Multi Level Marketing (MLM).
Lalu mereka pun menulis surat. Bukan sekadar surat biasa. Surat itu ditujukan ke orang nomor satu negeri ini: Presiden Prabowo Subianto. Mereka meminta perlindungan hukum. Mereka tahu, kasus ini sudah masuk meja Bareskrim Polri. Tapi mereka tidak mau sekadar menunggu. Mereka ingin presiden turun tangan.
"Kasusnya sudah ditangani Bareskrim dengan pemanggilan saksi-saksi," kata ML, koordinator korban, sore itu. "Kami apresiasi kerja keras polisi. Tapi kami juga khawatir. Perusahaan ini seperti kebal hukum. Sudah beberapa kali dipanggil, tetap saja tidak datang."
Kalimat "kebal hukum" itu langsung membuat saya berhenti sejenak. Inilah ironi negeri ini. Ketika orang kecil terlambat bayar cicilan motor, debt collector bisa datang besok pagi. Tapi ketika sebuah perusahaan diduga mengemplang Rp 170 miliar, panggilan polisi bisa seperti angin lalu.
Mereka tidak hanya kirim surat ke presiden. Surat serupa juga sudah dikirim ke Wakil Presiden, Kapolri, Menkopolhukam, Ketua DPR RI, Komisi III DPR RI, Ombudsman, Kajati Jakarta, sampai PPATK. Lengkap. Saking lengkapnya, daftar itu lebih mirip alamat buku telepon negara.
Dan mereka mengaku, beberapa pejabat sudah merespons. Itu artinya bola ini tidak bisa lagi didiamkan.
Kalau dihitung, 21 orang korban itu rata-rata kehilangan hampir Rp 8 miliar per orang. Itu bukan uang kecil. Itu bukan sekadar tabungan. Itu, kata salah seorang korban, adalah hasil puluhan tahun kerja, hasil jual aset, bahkan ada yang meminjam ke bank.
Saya teringat: MLM di Indonesia bukan cerita baru. Dari dulu pola permainannya sama. Dijual dengan embel-embel "kesempatan emas, passive income, jaringan internasional". Di awal, mereka membayar bonus. Lalu orang percaya. Lalu banyak yang masuk. Lalu berhenti di tengah jalan. Lalu bubar. Yang masuk terakhir: rugi.
Seperti hukum besi piramida. Yang di atas ketawa, yang di bawah menangis.