Oleh: Mahar Prastowo
Dewan Pers sedang kebanjiran tamu.
Bukan wartawan yang ingin mengajukan verifikasi, bukan pula mahasiswa magang yang mencari sertifikat. Melainkan... pengaduan. 780 pengaduan, hanya dalam tujuh bulan pertama tahun 2025. Rekor tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Ini kabar gembira atau kabar buruk?
Bagi masyarakat, ini mungkin kabar gembira: kesadaran publik atas haknya makin tinggi. Mereka tahu, berita yang melenceng bisa dilaporkan. Tapi bagi dunia pers, ini alarm. Sebab mayoritas pengaduan adalah soal pelanggaran kode etik. Dan mayoritas pelanggaran itu terjadi di media daring, terutama di daerah.
Masalahnya klasik: jumlah media online tumbuh seperti jamur di musim hujan. Tapi wartawan yang kompeten tidak ikut tumbuh. Banyak media lahir tanpa dapur redaksi yang benar, tanpa proses editing, tanpa verifikasi fakta. Apalagi... tanpa pelatihan etika.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Muhammad Jazuli, tahu persis. Ia seperti dokter yang sudah berkali-kali mengingatkan pasien untuk berhenti merokok --- tapi pasiennya malah membuka pabrik rokok. "Kita akan terus edukasi, literasi, uji kompetensi wartawan, lokakarya, seminar," katanya. Tugas yang sama setiap tahun. Dan jumlah pasien---maaf---jumlah media bermasalah itu tetap bertambah.
Tapi tahun ini ada satu penyakit lain yang cukup berbahaya: media yang "berseragam".
Bukan berseragam dalam arti wartawannya kompak memakai batik. Tapi media yang namanya mencatut instansi negara: KPK News, Polri Update, Kejagung Post.
Tujuannya? Menurut Jazuli, agar publik mengira media itu adalah perpanjangan tangan institusi resmi. Efeknya? Orang bisa terkecoh, narasumber bisa merasa terintimidasi, dan masyarakat jadi sulit membedakan mana informasi resmi dan mana hanya liputan yang "menyamar".
Kalau memang media itu benar-benar milik lembaga resmi, tak masalah. Polri TV misalnya, memang milik Polri. Tapi kalau bukan? Dewan Pers akan menertibkan. Caranya, mulai dari imbauan ganti nama, sampai pencabutan status verifikasi dan sertifikat wartawannya. Dan kalau perlu, MoU dengan Polri, Kejaksaan Agung, atau instansi terkait, untuk mempersempit ruang gerak media "penyamar" itu.
Dari luar, ini tampak seperti upaya menjaga kebersihan baju pers dari noda. Tapi kalau mau jujur, tantangan yang lebih berat ada di dalam: memastikan wartawan bekerja dengan standar, dan media memegang teguh kode etik. Karena selama pintu masuk dunia pers bisa dibuka hanya dengan modal domain murah dan akun media sosial, angka 780 pengaduan itu bisa jadi hanya angka pemanasan.
Masalahnya, di Indonesia, membuat media itu mudah. Yang sulit adalah menjadi media yang benar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI