Oleh: Mahar Prastowo
Mall kini lebih dingin dari biasanya. Bukan hanya karena pendingin ruangannya, melainkan karena dinginnya transaksi.
Fenomena "Rojali" --- singkatan dari Rombongan Jarang Beli --- makin marak. Mereka datang bergerombol ke pusat perbelanjaan, bukan untuk berbelanja, tapi untuk "ngadem", cuci mata, selfie, atau sekadar numpang Wi-Fi. Kadang-kadang ada yang membeli minuman murah, sebagian lain cukup duduk di food court dengan segelas air isi ulang.
Namun jangan buru-buru menghakimi. Rojali bukan semata gejala malas belanja atau pengiritan akut. Ini adalah sinyal perubahan struktur konsumsi masyarakat, sekaligus tanda bahwa model bisnis retail lama sedang menuju senjakala.
Mal Sebagai Ruang Sosial, Bukan Lagi Ruang Konsumsi
Jika dulu mall identik dengan pusat transaksi ritel, hari ini fungsi itu perlahan tergeser. Kehadiran e-commerce telah mencabut kebutuhan akan "berjalan dari etalase ke etalase". Kini, jari di layar menggantikan langkah kaki. Algoritma menggantikan SPG.
Mall pun tak lagi menjadi tempat barang berpindah tangan, tapi waktu berpindah makna. Ia menjadi ruang sosial---perpanjangan dari ruang tamu rumah-rumah kecil di pinggiran kota, tempat anak muda membangun citra digital, dan ruang negosiasi informal antara para pekerja kreatif dan pebisnis.
Artinya: mall tetap hidup, tapi tidak dari transaksi konvensional.
Struktur Baru: Gudang, Bukan Gerai
Lalu, bagaimana dunia usaha menyikapi pergeseran ini?
Jawabannya: dengan mengubah struktur distribusi. Alih-alih mempertahankan gerai-gerai besar di mall yang sewa dan gajinya tinggi, perusahaan dapat mengonversi mall menjadi showroom dan ruang pengalaman---sementara transaksi aktual dan logistik diurus oleh gudang khusus, dengan pengiriman langsung ke pelanggan.
Karyawan tidak perlu jadi kasir. Mereka menjadi brand ambassador. Mall berubah dari titik transaksi menjadi ruang beriklan aktif.