Oleh Mahar Prastowo
Di Jakarta, hukum memang bisa terasa megah---apalagi kalau sedang disorot media. Tapi di pinggir kota, di gang-gang sempit, hukum sering datang tanpa jas, tanpa toga, bahkan tanpa nama. Itulah wajah paralegal. Mereka tak dikenal, tapi dikenal. Tak bergaji, tapi bekerja. Tak bersertifikat, tapi menyelesaikan konflik yang tak sempat disinggahi advokat.
Saya ikut menyimak pelatihan daringparalegal hari kedua, itu dari ruang posbakum di lantai dua kantor kelurahan. Sinyalnya kadang ngadat, tapi materinya mengalir deras. Ada Dr. Dian Andriani yang berbicara dengan tenang tapi penuh peluru. Ada Mohammad Azmi dari Posbakum 'Aisyiyah yang menyusun ulang peta jalan hukum rakyat. Dan ada Amodra Mahardhika, seorang advokat muda dari LKBH UPN "Veteran" Jakarta, yang berbicara tidak dengan teori semata, tapi juga pengalaman mendampingi warga dari balik meja konsultasi hingga ke balai desa.
Semuanya sepakat: hukum acapkali terlalu jauh dari rakyat. Dan dari rakyat yang tak terjangkau pelayanan hukum itu, paralegal-lah yang menjemputnya kembali.
Dari Pokrol Bambu ke Zoom Meeting
Istilah paralegal memang baru mulai seksi belakangan ini. Tapi praktiknya sudah lama ada di Indonesia, sejak zaman kolonial, dengan sebutan pokrol bambu. Kata "pokrol" sendiri berasal dari bahasa Prancis procureur, yang berarti pemegang kuasa hukum. Dalam konteks hukum Belanda, mereka dikenal sebagai zaak waarnemer atau pengamat kasus. Tapi di Hindia Belanda, pokrol dibedakan tegas dari advokat. Pokrol dianggap tak berpendidikan hukum, sehingga keberadaannya tidak diakui resmi oleh pemerintah kolonial.
Ironisnya, justru pokrol-lah yang banyak membantu rakyat kecil---sementara advokat saat itu lebih sibuk dengan klien-klien kelas atas. Pokrol menjadi semacam juru selamat bagi wong cilik yang tak paham jalan menuju pengadilan.
Baru pada tahun 1965, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor 1 tentang Pokrol, yang menjabarkan tugas dan syarat formal bagi mereka. Dari memberi nasihat, mendampingi di pengadilan, hingga menyusun surat untuk satu perkara tertentu---semuanya bisa dilakukan pokrol, asalkan mendaftarkan diri ke panitera.
Kalau dirunut, pokrol adalah nenek moyang paralegal. Hanya saja, kini mereka tampil lebih rapi. Kadang bersertifikat, kadang ikut pelatihan daring. Tapi semangatnya sama: mengawal keadilan dari bawah.
Tidak Sarjana, Tapi Sarjana Keadilan
Paralegal itu bukan sarjana hukum. Tapi kalau ada warga yang digusur, ditangkap, atau ditipu warisan, siapa yang pertama datang?
Bukan pengacara.
Bukan polisi.
Bukan camat.