Kasus remaja yang mengambil pisang tanpa izin di Tlogowungu, Pati, bukan sekadar soal hukum. Ini adalah kisah tentang kemiskinan, kemanusiaan, dan kebijakan hukum yang harusnya punya hati.
Bocah itu mengambil pisang. Warga menangkap dan mengaraknya. Dibawa ke kantor Polisi. Beruntung, Polsek Tlogowungu tidak sekadar menerapkan aturan hukum hitam-putih. Mereka memahami konteks. Mereka mencari latar belakang. Dan mereka menemukan tragedi keluarga yang memilukan: anak yatim, ibu meninggal, ayah menikah lagi dan tak peduli.
Bayangkan jika pendekatan hukum yang kaku diterapkan. Bocah itu bisa berakhir di balik jeruji. Masa depannya habis hanya karena segerombol pisang. Untunglah, restorative justice diberlakukan. Polisi menjadi mediator. Kedua belah pihak berdamai. Pisang yang hilang tak lebih berharga dari masa depan seorang anak.
Tapi kisah ini tidak berhenti di situ. Kapolresta Pati turun tangan. Ada simpati. Ada kepedulian. Bantuan sembako dikirim. Lebih dari itu, adik si bocah diangkat menjadi anak asuh Polsek. Sang kakak diberi pekerjaan di kantor polisi. Dari potensi menjadi 'penjahat kecil', anak itu justru mendapat kesempatan hidup lebih baik.
Di sinilah hukum menemukan sisi kemanusiaannya. Tidak sekadar menghukum, tetapi juga memberi solusi. Polisi yang paham konteks, aparat yang mau mendengar, bisa membuat perbedaan besar.
Tentu, ke depan, kasus semacam ini tak seharusnya terjadi lagi. Bagaimana jika ada sistem yang lebih sigap menangani anak-anak rentan seperti ini? Mungkin bukan hanya polisi yang perlu turun tangan. Pemerintah daerah? Dinas sosial? Atau kita semua, sebagai masyarakat?
Jangan sampai, di negeri yang kaya raya ini, anak yatim harus mencuri pisang untuk bertahan hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI