Kebijakan ini tentu memicu reaksi beragam. Importir gula senang. Pasokan bertambah, bisnis lancar. Industri makanan dan minuman yang sangat bergantung pada gula juga lebih tenang. Harga bisa lebih stabil.
Tapi bagaimana dengan petani tebu?
Mereka kecewa. Harga tebu di tingkat petani bisa tertekan. Apalagi jika gula impor masuk dalam jumlah besar dan lebih murah. Petani khawatir, mereka yang tadinya didorong untuk menanam, kini malah bisa gulung tikar.
Pabrik gula nasional?
Sebagian bisa terbantu dengan pasokan bahan baku yang lebih banyak. Tapi pabrik-pabrik berbasis gula petani bisa merugi jika harga jatuh.
Konsumen?
Dalam jangka pendek, harga gula bisa lebih stabil. Tapi dalam jangka panjang, jika produksi lokal terus melemah, kita akan semakin bergantung pada impor. Itu yang berbahaya.
Keputusan impor ini menandakan satu hal: swasembada gula masih jauh dari harapan.
Ada banyak yang harus dibenahi. Produktivitas tebu nasional perlu ditingkatkan. Pabrik gula harus diperbarui. Rantai distribusi harus lebih efisien.
Jika tidak, tahun depan bisa terjadi lagi: janji tidak impor, lalu akhirnya impor juga.
Pertanyaannya: kapan kita benar-benar bisa mandiri?