Saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, tepatnya saat saya kelas empat, saya masih ingat perkataan guru saya. Beliau mengatakan bahwa, "Lima tahun yang akan datang Waduk Mrica bakal ditutup". Ucapan itu membuat saya sedikit terkejut, bagaimana mungkin waduk yang besar dan luas itu bakal ditutup? Saya masih tidak mempercayai perkataan guru saya dan dan menyangkal tentang hal ini "Ah, masa sih", pikir saya saat itu.
Namun, beberapa tahun terakhir ucapan guru saya ternyata mulai menjadi kenyataan. Tanda-tanda waduk Mrica akan kehilangan fungsinya sebagai waduk mulai terlihat. Saya memang jarang mengunjungi Waduk Mrica sebelumnya. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir saya sering pergi ke daerah sekitar Waduk Mrica. Salah satu hal yang menaarik perhatian saya adalah adanya gundukan tanah di tengah-tengah waduk yang membentuk daratan. Gundukkan tanah itu ditumbuhi dengan banyak pohon sehingga tampak seperti pulau kecil di tengah sungai. Padahal, dulunya gundukkan tanah itu tidak ada dan hanya aliran air yang deras saja yang saya lihat. Pemandangan tersebut menujukkan bahwa Waduk Mrica sedang mengalami masalah yang membuat Waduk Mrica kehilangan jati dirinya.
Waduk Mrica atau yang dikenal sebagai Waduk Panglima Besar Jenderal Soedirman terletak di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Waduk ini dibangun pada tahun 80-an dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1989 . Waduk ini memiliki panjang 6,5 km dan luasnya mencapai 1.250 hektare. Bahkan, waduk ini dinobatkan sebagai waduk terpanjang se-Asia Tenggara. Waduk ini memiliki fungsi utama sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang memasok listrik untuk pulau Jawa--Bali. Selain itu, waduk ini juga dimanfaatkan untuk pengairan lahan pertanian, pengendali banjir, dan sebagai destinasi pariwisata. Maka dari itu, waduk terpanjang se-Asia Tenggara ini merupakan objek vital bagi masyarakat Banjarnegara.
Sayangnya, Waduk Mrica mulai kehilangan jati dirinya. Beberapa tahun terakhir, isu penutupan Waduk Mrica mencuat, bahkan ada yang memprediksi bahwa Waduk Mrica ini bakal ditutup pada tahun 2025. Hal ini karena Waduk Mrica mengalami pendangkalan akibat sedimentasi. Selain permasalahan sedimentasi, pertumbuhan tanaman eceng gondok yang terjadi secara masif mulai menutupi permukaan waduk dan menganggu aliran air. Pertumbuhan tanaman eceng gondok ini juga menjadi salah satu faktor berkurangnya kapasitas air di waduk karena waduk dipenuhi oleh tanaman air yang pertumbuhannya sulit untuk dikendalikan. Selain itu, sampah yang dibuang sembarangan ke sungai juga ikut nenumpuk di waduk sehingga memperburuk kualitas air dan menambah persoalan baru. Berdasarkan laporan Kompas.com (2024), kapasitas air di Waduk Mrica yang tersisa hanya 12 persen akibat sedimentasi endapan lumpur yang mencapai 6 juta meter kubik per tahun. Jika hal ini dibiarkan terjadi dan tidak ditangani, maka PLTA yang dulunya menghasilkan listrik sekitar 180 MW ini berpotensi untuk ditutup dan tidak dapat beroperasi kembali.
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pihak pengelola, mulai dari pengerukan lumpur, penanaman kembali pohon di daerah sekitar hulu sungai serayu sampai melakukan flushing atau pembuangan lumpur yang dilakukan dua kali seminggu agar aliran air tidak tersumbat. Akan tetapi, upaya ini masih belum bisa memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap sedimentasi yang terjadi di waduk. Hal ini karena upaya yang dilakukan belum bisa mengimbangi laju sedimentasi yang terus bertambah setiap tahunnya. Upaya pengelola yang melakukan flushing untuk pembuangan lumpur di waduk juga menambah persoalan baru di daerah hilir sungai, seperti air sungai yang menjadi keruh dan penuh dengan lumpur serta mengakibatkan rusaknya ekosistem di sepanjang aliran sungai.
Sedimentasi ini juga tidak terlepas dari alih fungsi lahan yang terjadi di daerah aliran sungai (DAS) Serayu yang sampai sekarang belum ditangani secara menyeluruh. Alih fungsi lahan hutan pinus yang ada di daerah hulu sungai Serayu, tepatnya di daerah Dataran Tinggi Dieng, yang dijadikan sebagai lahan pertanian khususnya tanaman kentang menyebabkan daerah resapan air semakin berkurang. Akibatnya, terjadi erosi yang cukup parah sehingga tanah terbawa ke aliran sungai saat hujan turun. Erosi yang terjadi secara terus menerus ini akhirnya menambah tumpukan sedimen di Waduk Mrica dari tahun ke tahun.
Sedimentasi yang terjadi secara masif pada Waduk Mrica ini menimbulkan rasa keprihatinan bagi saya. Waduk yang dulunya digadang-gadang sebagai waduk terpanjang se-Asia Tenggara mulai kehilangan jati dirinya. Jika hal ini terus dibiarkan saya yakin dampaknya sangat besar untuk masyarakat, khususnya masyarakat Banjarnegara. Hal ini karena permasalahan yang terjadi cukup berpengaruh bagi masyarakat mulai dari terganggunya pengairan lahan yang memanfaatkan waduk hingga ancaman jebolnya waduk saat hujan karena kapasitas air yang terbatas sehingga tidak bisa menampung air.
Ada beberapa upaya tambahan yang perlu dilakukan untuk mencegah dan mengurangi sedimentasi berkelanjutan yang terjadi di Waduk Mrica. Upaya-upaya tambahan tersebut antara lain:
1. Larangan membuang sampah ke sungai
Upaya ini memang sulit untuk dilakukan karena kebiasaan membuang sampah di sungai sudah mengakar di masyarakat. Akan tetapi, hal ini perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi tumpukan sampah di daerah Waduk Mrica. Tumpukan sampah ini juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya kapasitas air pada waduk.