Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tidak Percaya Data Statistik BPS

31 Januari 2012   13:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:14 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13280164631849686200

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) – satu-stunya lembaga resmi Pemerintah RI yang mengurusi pencatatan perkembangan berbagai jenis data statistik di Indonesia masih sering tidak dipercayai oleh masyarakat.

[caption id="attachment_158359" align="alignright" width="480" caption="Gambar ilustrasi/Google/k11tiumb.blogsdpot.com"][/caption]

Kesan seperti itu, antara lain, terungkap dalam tulisan berjudul ‘Agar Tidak Terus Merasa Dibohongi’ yang diposting oleh Kadir Ruslan di Kompasiana hari ini (Selasa,31/01/2011-16:26).

Menariknya, lantaran kompasianeryang statistisi, bekerja di BPS itu, juga mengungkap salah satu contoh adanya penampikan data BPS oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) terhadap jumlah penduduk miskin Sulsel yang dinyatakan mengalami peningkatan dalam periode Maret – September 2011.

Penampikan data BPS tersebut sepertiyang sebelumnya pernah saya tulis Di Sini, dilakukan oleh Gubernur Sulsel, H.Syahrul Yasin Limpo, pernah ditayangkan dalam berita Celebes TV – salah satu stasion televisi lokal (swasta) di Kota Makassar beberapa waktu lalu.

Padahal menurut, Kadir, data statistik yang disodorkan BPS itu dibuat didasarkan pada metodologi ilmiah yang didesain sedemikian rupa untuk merepresentasikan populasi. ‘’Kalaupun ada kesan bahwa selama ini BPS tidak terbuka soal metodologi yang digunakan, itu karena orang tidak mau tahu atau malas mencari tahu,’’ katanya.

Ketersediaan data yang akurat (valid) sangat dipahami amat membantu dalam penyusunan program-program pemerintah maupun yang bersifat umum. Selain terkait dengan kepentingan teknis, keakuratandata akan berdampak terhadap hitung-hitungan pengalokasian dana atau anggaran suatu proyek atau pekerjaan.

Dengan sedikit memberikan pengubahan berupa penambahan angka dalam data untuk populasi secara nasional, tentu saja, dapat membengkakkan penyediaan anggaran. Ujung-ujungnya akan terjadi kelebihan penyediaan anggaran dari biaya yang seharusnya digunakan. Suatu cara ‘peremainan data’ yang dapat dimanfaatkan untuk mengorupsi uang Negara oleh mereka yang bermental korup.

Sayangnya, sampai sekarang belum terdapat (atau saya yang belum tahu) adanya semacam ketentuan yang mengharuskan penggunaan data statistik BPS terutama bagi kebijakan-kebijakan atau kepentingan pembangunan Nasional. Buktinya, di kalangan pemerintahan di pusat dan daerah masih banyak yang menggunakan data untuk kepentingan pembuatan program atau kebijakan yang dibuat oleh kalangan mereka sendiri.

Akibatnya, tidak sedikit data yang pernah disodorkan terutama oleh kalangan pemerintah di daerah, bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Bahkan tidak jarang data (bukan dari BPS) pemerintah daerah justru harus berpolemik dengan data yang dibuat oleh kalangan lembaga swasta, lantaran terjadi perbedaan.

Salah satu contoh paling aktual, ketika kemarin (Senin, 30/01/2012) dalam Rapat Koordinasi (Rakor) pertama tahun 2012 yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulsel dengan para Muspida dan bupati/walikota se-Sulawesi Selatan di Kantor Gubernur Sulsel, Gubernur H.Syahrul Yasin Limpo sempat mengungkapkan sejumlah keberhasilan peningkatan produksi pertanian yang dicapai dalam tahun 2011 di Sulsel. Di antaranya, disebut terjadi peningkatan produksi cokelat (kakao) dari 173,56 ribu ton tahun 2010 menjadi 198,41 ribu ton tahun 2011. Tidak terdapat keterangan angka-angka peningkatan tersebut bersumber dari BPS.

Sementara seperti diberitakan harian ‘Tribun Timur’ (Selasa, 31 Januari 2012, hal.4), dalam waktu yang bersamaan dengan pelaksanaan Rakor Pemprov Sulsel, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel, Yusa Rasyid Ali menemui anggota DPD RI, Bahar Ngitung di Rumah Aspirasi, Jl. Sultan Alauddin, Kota Makassar, meminta agar pemerintah merevisi Permen No.67/2010 terkait pengenaan tarif bea keluar komoditas kakao.

Masalahnya, katanya, sejak peraturan itu diberlakukan terjadi penurunan produksi kakao di Sulsel. Data penurunan disodorkan, produksi kakao Sulsel tahun 2009 sebanyak 151.074 ton menurun menjadi sekitar 135 ribu ton tahun 2010. Kemudian menurun lagi sebanyak hampir 50 ribu ton di tahun 2011,atauproduksi kakao Sulsel tahun 2011 hanya sekitar 90 ribuan ton.

Dari satu obyek data tersebut, terlihat jelas perbedaan hasil produksi kakao Sulsel tahun 2011 berdasarkan data yang diungkapkan Gubernur Sulsel dengan data dari pihak Askindo Sulsel. Terdapat perbedaan angka yang sangat mencolok, sekitar 100 ribu ton. Sangat membingungkan, data mana yang benar, karena kedua penyaji data juga merupakan sumber terpercaya.

Namun bagi rakyat kebanyakan, selama ini belum banyak yang menyoal terhadap perbedaaan penyajian data statistik atau angka-angka populasi seperti itu. Rakyat umumnya tidak pernah menyoal data yang dipaparkan oleh pemerintah atau lembaga swasta, apakah data itu akurat atau tidak bersumber dari BPS.

Padahal untuk mencapai produksi 100 ribu ton kakao sangat berkaitan dengan penyediaan anggaran untuk program Gerakan Nasional (Gernas) Tanaman kakao yang digalakkan saat ini, terkait hitungan penyediaaan pupuk dan bibit, hitungan pajak yang dapat diraih untuk kas daerah atau negara, dan banyak hal lain.

Masalahnya, data statistik BPS belum wajib pakai sih Pak Kadir….


Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun