Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inilah Jejak Kota Muna yang Lenyap dari Ingatan Publik

17 Maret 2016   00:36 Diperbarui: 17 Maret 2016   12:44 3585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Inilah sketsa Kota Muna yang dibuat oleh Jules Courveur/Ft: Repro Mahaji Noesa"][/caption]Atlas atau gambar peta Indonesia sejak dulu menuliskan Muna hanya untuk penamaan sebuah pulau di jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Pulau yang posisinya diapit oleh daratan Pulau Sulawesi dan Pulau Buton. Tumbuh di antara laut Selat Tiworo dan Selat Buton. Tidak terdapat tempat atau lokasi bernama Kota Muna. Yang ada adalah Kabupaten Muna, salah satu dari 4 kabupaten (Kendari, Kolaka, Buton, Muna) di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) saat mulai berotonom, 27 April 1964. Sekarang, Sultra telah memiliki 17 kabupaten/kota.

Justru saya agak terkejut ketika suatu saat berada di pelabuhan penyeberangan Bajoe, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, melihat sebuah kapal ferry bernama KMF Kota Muna. Sepanjang kehadiran provinsi Sultra, nama Kota Raha (bukan Kota Muna) cukup dikenal sebagai Ibu Kota Kabupaten Muna. Maklum, Kota Raha pernah dijuluki sebagai ‘Kota Dolar’ saat kayu jati dari kabupaten Muna masih rimbun dan dapat diekspor dalam bentuk gelondongan.

[caption caption="Peta Kabupaten Muna,Sulawesi Tenggara/Ft: Repro"]

[/caption]

Lantas Kota Muna, di mana lokasinya? Melihat kapal ferry bernama Kota Muna di pelabuhan Bajoe kala itu, saya pun teringat dengan nama jalan Sungai Limboto di kota Makassar. Di peta Indonesia yang tercatat hanya nama Danau Limboto tak terdapat nama Sungai Limboto. Di wilayah pecinaan Makassar ada juga nama Jalan Muna. Tidak jelas apakah yang dimaksud Pulau Muna atau Kota Muna. Pastinya, Muna juga sebagai nama etnik, selain etnik Tolaki, Buton, Moronene, dan Wawonii sebagai etnik asli Sulawesi Tenggara. Ah….emangnya gue pikirin. EGP, tulis generasi kini dalam ragam bahasa virtualnya.

Hingga akhirnya mata saya kembali terbelalak melihat tulisan Kota Muna dalam lembaran buku berjudul Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna (Penerbit Arca Wacana Press, Kupang, 2001). Buku terjemahan dari tulisan berjudul Ethnografis choverzicha van Moena karya Jules Couvreur, mantan Penguasa Pemerintahan Dalam Negeri masa pemerintahan kolonial Belanda (1933-1935) di Muna, justru memberi sinyal jika nama Kota Muna telah dikenal sejak masa kerajaan abad XIX.

Deskripsi Kota Muna dahulu, digambarkan sebagai sebuah kampung dibatasi dinding terbuat dari susunan batu karang, berbentuk benteng setengah lingkaran. Garis tengahnya 3.180 meter. Dinding batu tinggi rata-rata 4 meter dengan ketebalan 3 meter. Panjang keseluruhan dinding batu Kota Muna 8.073 meter. Lokasi Kota Muna tempo dulu saat ini juga menjadi bagian dari pusat Kota Raha, ibukota Kabupaten Muna.   

Di dalam komplek Kota Muna tempo dulu terdapat kediaman Raja Muna (Lakina Muna). Kediaman Bhonto Balano (Perdana Menteri) Tongkuno dan Lawa. Kediaman Mintarano Bhitara (Menteri Penerangan) Tongkuno dan Lawa. Tempat pelantikan Lakina Muna, tempat Bhonto Balano dan para Kapitalao (Menteri Pertahanan). Mesjid, pasar, tempat pengadilan, dan sejumlah lokasi pekuburan. Setiap bagian Kota Muna dihuni seorang Ghoerano (kepala distrik) bersama kepala-kepala kampung (Kino, Mino, dan Fato Lindono). Juga para La Ode (bangsawan tinggi), para Walaka (bangsawan rendah) dan isteri serta para pembantu (kafowawe).

[caption caption="Pelabuhan Kota Raha, ibukota Kabupaten Muna di Selat Buton/Ft: Kp2Kpraha "]

[/caption]

Terdapat tiga jalur masuk keluar Kota Muna, membentang di utara ke arah Kaura, di timur ke arah Tongkuno, dan jalur barat daya ke arah Lembo. Warga kebanyakan di luar Kota Muna hanya diperkenankan masuk komplek jika hari-hari pasar, atau dipanggil menghadap para petinggi kerajaan dan harus berjalan kaki. Para petinggi kerajaan pun jika masuk komplek Kota Muna hanya dibolehkan berkuda hingga batas kediaman Bhonto Balano.

Kekacauan mulai terjadi di Kota Muna tahun 1861 saat Lakina Muna La Ode Bulai berperang dengan La Ode Ngkada (Kapitalao Lohia) yang hendak merebut kedudukan sebagai Lakina Muna. Dari hari ke hari suasana tidak aman, dan penghuni satu per satu keluar meninggalkan komplek Kota Muna. Perang perebutan kekuasaan baru dapat diakhiri dengan ancaman senjata tahun 1907, setahun setelah pihak kompeni Belanda masuk ke Muna. Kondisi Kota Muna pun telah porak poranda. Bukan hanya hilang secara fisik, tapi sebutan Kota Muna pun lalu  terhapus lenyap dari ingatan publik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun