Mohon tunggu...
Mohamad AB
Mohamad AB Mohon Tunggu... Karyawan

Menulis untuk bertutur kata...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bripka Seladi : “Saya Bisa Menjadi Seperti Kamu, tetapi Apa Kamu Bisa Seperti Saya ? “

22 Mei 2016   21:21 Diperbarui: 22 Mei 2016   21:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.paparazynews.net

Ada sebuah  filsafat kehidupan   yang bisa kita temukan di tumpukan sampah,yang teronggok di salah satu rumah tua di Jalan Dr Wahidin, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Di rumah ini  seorang satria  hidup  layaknya manusia biasa. Banyak misteri yang  menarik publik untuk mengenalnya,mungkin malaikatpun   heran,” apa yang terjadi dengan  penduduk  bumi yang satu ini , kejujuranya  kenapa menjadi liputan heboh di semua media di bumi . Pesona daya tarik  yang  dimiliki penghuni ini sebetulnya  tidak ada, kalau  kejujuran  masih menjadi  fitrah manusia. Mungkin karena,dunia ini  yang sudah lapuk dimakan usia.Jamanpun  berubah  sehingga kejujuran menguap kembali ke langit ,menjadi langka dibumi.Jadilah kejujuran hanya  tinggal kenangan,menjadi tontonan  bukan lagi tuntunan .

Sang pencerah itu bernama Seladi ,iapun lebih bangga dengan dirinya yang menjadi seorang anggota satuan Kepolisian sekaligus sebagai pemulung sampah pekerjaan sambilannya.Sebuah kontradiksi kehidupan,  tapi itulah Seladi. “Sela- selane dadi” sebuah pembelaan diri yang menjadi prinsip hidupnya , di sela sela waktunya  bikin apapun jadi yang penting halal biarpun jadi polisi  nyambi  menjadi pemulungpun tak soal.

Bripka Seladi  menempati gudang sampah di Jalan Dr Wahidin, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Secara strategis,gudang tersebut tidak terlalu jauh,karena  masih berada di jalan yang sama dengan kantor tempat ia berdinas, menjadi polisi, bertugas  di tempat yang  basah. Yaitu pada bagian urusan SIM Kantor Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) Polres Malang Kota yang berada di Jalan Dr Wahidin.Umumnya orang akan menyangka bekerja ditempat yang basah,kenapa masih harus mau repot  bersusah susah menjadi pemulung.  

 Gudang sampah yang menjadi tempatnya beraktivitas sepulang  bekerja,hanya  berjarak sekitar 100 meter dari kantornya. Bangunan ini, Jika dilihat dari luar, tidak terlihat tumpukan sampah tidak ada tanda tanda tempat ini  merupakan pengepul sampah pada umumnya,karena halaman depan bangunan itu juga selalu terlihat  rapi dan bersih. Paling hanya jika kita mencoba  merengsek masuk ke lokasi dalam bangunan ini,ciri bau sampah  pada umumnya  masih tercium,namun sudah tidak  terlalu  tajam seperti  gudang  sampah  lainnya. Karena  sampah disini sudah  sedemikian  bersih .Bangunan rumah  itu minim tampak gelap  karena minim penerangan.banyak tumpukan sampah yang terbungkus ratusan kantong sampah plastik berwarna hitam menggunung terlihat  disana sini .

Untuk menuju lokasi ruang Seladi yang biasa tempat ia bekerja selepas pulang kantor.Kita harus  berjalan menyusuri lorong  gelap sempit untuk menuju salah satu ruangan di bagian belakang bangunan itu.Berbeda  dengan  ruangan  lainnya  ruangan ini  terlihat terang karena atapnya  terbuka . Di sinilah , Seladi "berdinas" ketika tidak bertugas di kesatuannya. Kesehariannya  telaten memilah sampah ia menjadi  "Tukang rongsokan," ujarnya terkekeh,ketika ditemui wartawan yang terkagum dengan pribadinya.

Besarnya penghasilan  tambahan dari sampah ini  menurut  Seladi tidak banyak. Kalau dipukul rata harian pendapatan berkisar Rp 25.000-Rp 50.000 per hari namun biasanya  terkumpul seminggu sekali setelah sampah terjual."Yang penting halal, ikhlas, dan terus ikhtiar dalam melakoninya. Tidak usah peduli omongan orang. Saya tahu, pasti ada yang mencibir. Kalau ada yang begitu akan saya jawab, 'Saya bisa menjadi seperti kamu, tetapi apa kamu bisa seperti saya?'," katanya.Ia mengaku tidak minder ataupun rendah diri meskipun setiap hari berkutat dengan sampah. Ia juga tidak jijik memilah aneka sampah. Ia juga mengaku tidak pernah menderita sakit serius meskipun mencium bau sampah menyengat setiap hari.

Pertanyaannya,kenapa Seladi mau melakukan ini,Ia menegaskan, dirinya tidak mau tergiur meskipun berdinas di lahan yang selama ini dikenal sebagai lahan "basah" di institusi kepolisian. Seladi mengaku tidak mau menerima pemberian orang dengan tujuan tertentu dalam pengurusan SIM. Kalaupun ada yang memberi di rumah, kata Seladi, ia meminta sang anak mengembalikan pemberian itu. Inilah yang kita harus ikuti,prinsip hidupnya itu ia ajarkan kepada sang anak. Lulusan SMEA di Malang itu mengajari anaknya, Rizal Dimas (21), etos kerja keras, halal, dan tanpa perasaan minder.

Setiap hari, sang anak membantunya memilah sampah. Lulusan D-2 Informartika Universitas Negeri Malang (UM) itu juga tidak jijik memilah sampah."Saya tidak minder memiliki ayah yang polisi, tetapi juga tukang rongsokan. Ini pekerjaan halal. Saya malah bangga karena ayah mengajari tentang kerja jujur," katanya. Ketika masih ada anggapan miring tentang polisi, Rizal berani menyodorkan bahwa sang ayah merupakan polisi yang patut dicontoh. Ia tampak  tegar,bersahaja,itulah kehidupan Seladi  potret seorang polisi sekaligus pemulung dan pemilah sampah. Seladi menegaskan, pekerjaan sampingannya menggeluti "bisnis" sampah tidak membuatnya menelantarkan pekerjaan utamanya. Ia memilah sampah di luar jam dinas.

Andaikan Seladi menjadi Panglima Tinggi Polri ,barangkali sudah menjadi incaran  Jokowi  karena dipandang  cocok dengan  visi kebersahajaan  yang menjadi prinsipnya.Tentu  akan membuat senang Jokowi,tidak akan repot lagi menyeleksinya,tidak ada yang perlu disangsikan lagi,tidak  ada kaitan politik  balas jasa apapun.Sehingga  pilihannya tidak  mungkin dianulir,tidak sampai  menjadi polemik,menghebohkan,menguras energi.Tidak akan muncul misteri rekening gendut,bagaimana rekening Seladi akan gendut,uang gajianpun sudah diantri biaya kuliah anaknya,hidupnya  pas pasan..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun