“Malam begitu sunyi, sehingga sepi merajang dirinya sendiri”
Hari ini tepat sepuluh tahun aku melibatkan diri dalam kisah hidupnya. Menjadi bagian dari bangunnya di pagi hari dan lelapnya di malam hari.
Tak pernah ku bayangkan aku bisa bertahan selama ini, karena seingat sukmaku bisa mencatat dari malam pertama kami bersama tak pernah aku merasakan bahagia, seperti pasangan yang baru saja mengikat cinta.
Memang tak pernah ada cinta yang terikat diantara kami, karena kami tak pernah saling cinta. Ketika lamaran itu datang pun aku tahu dia tak mau melakukannya. Tapi sama sepertiku dia tak pernah punya kuasa untuk berkata tidak.
Sepuluh tahun penuh senyap. Tak pernah ada kesedihan memang, tapi sepi selalu menjadi bagian dari hari-hari kami. Hari-hariku tepatnya.
Rutinitas bangun pagi, menyiapkan sarapan, merapikannya bila selesai, mengantar ke pintu depan saat dia berangkat kerja, menyambutnya di sore hari bila dia pulang, menyiapkan makan malam, makan bersama, semua dilakukan dalam diam.
Sepuluh tahun, dengan sedikit kosa kata: selamat pagi, selamat makan, terima kasih makanannya, saya berangkat, saya pulang, selamat malam. Kumpulan kata yang berulang bagaikan hymne yang dilantungkan tanpa henti.
Bila makan malam telah selesai, kami berdua akan disibukkan dengan leptop masing-masing. Dia di kamar kerjanya dan aku di ruang tengah ditemani televisi yang berbicara sendiri.
Tanpa kehadiran anak, sepuluh tahun ini sangatlah sepi. Rumah ini bak gua pertapaan yang semakin hari semakin sunyi karena pertapaan yang semakin dalam. Tak pernah ada gelak tawa, teriakan marah atau riuh rendah perselisihan.
Didi, adalah suami pilihan ibuku. Dia adalah anak sulung dari sahabat kecil ibuku. Mereka pernah berjanji bila mereka menikah dan mempunyai anak, maka anak-anak mereka akan dijodohkan. Dan itulah kami, aku dan Didi.