Â
    Pernah dengar kalimat ini: "Lulusan politeknik itu langsung bisa kerja!"?. Saya percaya itu karena setiap hari di bengkel kampus, kami belajar hal-hal yang benar-benar dipakai di dunia nyata membaca gambar teknik.mengoperasikan mesin CNC, menganalisis keausan bearing, sampai merancang jadwal perawatan mesin agar tidak sering downtime. Tapi ironisnya, begitu lulus, banyak dari kami justru ditolak perusahaan dengan alasan "Belum punya pengalaman atau "Kami cari yang S1 dulu".
     Padahal, kami-mahasiswa Teknik Mesin konsentrasi Mesin Produksi dan Perawatan sedang dilatih untuk jadi garda terdepan di lini produksi dan bengkel Industri. Kami bukan cuma tukang kunci: kami belajar bagaimana mesin bekerja. kenapa la rusak, dan bagaimana membuatnya lebih efisien dan tahan lama. Di era Industri 4.0, kemampuan seperti ini justru yang paling dibutuhkan. Tapi kenapa industri seolah "lupa" butuh orang seperti kami?
    Faktanya, permintaan tenaga kerja vokasi terus naik, tapi penyerapannya masih timpang. Menurut Kementerian Perindustrian (2024), sektor manufaktur membutuhkan 17,3 juta tenaga kerja terampil hingga 2030, terutama di bidang permesinan, otomasi, dan perawatan industri. Namun, data BPS (Februari 2025) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan diploma (D1-D3) masih mencapai 7.2%-lebih tinggi daripada lulusan S1 (5,1%). Artinya, ada kesenjangan antara ketersediaan talenta dan kesiapan industri dalam menerimanya.
   Masalahnya bukan pada kualitas lulusan, tapi pada kesenjangan mentalitas dan sistem. Banyak perusahaan-terutama UMKM manufaktur-masih memandang lulusan D3 sebagai operator biasa, bukan calon teknisi andal atau engineer lapangan. Mereka ingin tenaga kerja yang "langsung jalan". tapi enggan memberi ruang untuk berkembang. Di sisi lain, memang ada hal yang perlu kami tingkatkan komunikasi teknis, literasi digital (seperti software pemantauan kondisi mesin), atau kerja tim lintas divisi. Tapi itu bisa dipelajari asal industri mau membuka pintu. bukan hanya memasang syarat tinggi tanpa investasi.
     Sebagai mahasiswa semester awal, saya sadar: kami punya waktu untuk mempersiapkan diri. Tapi sistem juga harus berubah. Kemenperin mencatat bahwa baru 38% perusahaan di Indonesia yang aktif bermitra dengan politeknik dalam program magang atau pengembangan kurikulum (Laporan Industri 4.0. 2023), Bandingkan dengan Jerman, di mana lebih dari 70% perusahaan manufaktur terlibat langsung dalam pendidikan vokasi melalui sistem ganda (dual system). Di sana, lulusan politeknik bukan hanya diterima tapi diperebutkan.
    Solusinya? Pemerintah perlu memperkuat insentif seperti pengurangan pajak hingga 30% bagi perusahaan yang menyerap minimal 10 lulusan vokasi per tahun (sebagaimana diusulkan dalam Rancangan Perpres Penguatan Vokasi 2025). Asosiasi industri seperti GIMNI (Gabungan Industri Mesin Nasional Indonesia) harus duduk bareng politeknik menyusun standar kompetensi yang benar-benar selaras. Dan yang paling penting: insinyur senior di pabrik harus mau jadi mentor, bukan cuma atasan yang menuntut tanpa membimbing.
     Bayangkan jika lulusan politeknik tidak lagi dipandang sebelah mata, tapi dipercaya memimpin tim perawatan mesin, mengoptimalkan efisiensi produksi. atau bahkan merancang sistem predictive maintenance berbasis loT. Itu bukan mimpi-itu masa depan yang bisa kami bangun, asal industri mau percaya dan memberi kesempatan.
Jadi, jangan hanya bilang "lulusan politeknik siap kerja" kalau tidak siap menerimanya.
Kami siap belajar, siap kerja, dan siap berkontribusi---tinggal, apakah industri juga siap?
Penulis adalah mahasiswa semester 1 Program Studi Teknik Mesin, konsentrasi Mesin Produksi dan Perawatan, di salah satu politeknik negeri di Indonesia.