Mohon tunggu...
little fufu
little fufu Mohon Tunggu... Pembelajar aktif

manusia freedom yang suka nulis random

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni Mengubah Hidup menjadi Tidak Bahagia

21 September 2025   23:06 Diperbarui: 22 September 2025   06:18 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya pemanis, pemanis alami.

Salah satu kebiasaan yang sering kita lakukan---meskipun tanpa sadar---adalah membandingkan diri dengan orang lain. Entah itu teman, rekan kerja, anggota keluarga atau bahkan orang yang kita ikuti di media sosial. Pertanyaan seperti, "Kenapa hidup ku nggak seperti mereka, ya?" mungkin pernah terlintas di benak kita. Padahal, secara sadar, kita tahu bahwa kebiasaan seperti ini tidak baik bagi kesehatan mental kita.


"Enjoy your own life without comparing it with that of another."-- Marquis de Condorcet


Tulisan ini lahir dari kegelisahan pribadi yang ingin saya uraikan dan akhirnya membawa saya pada sebuah pertanyaan: "Mengapa saya terus membandingkan diri dengan orang lain?"


Ketika Membandingkan Diri menjadi Kebiasaan
Sejak kecil, hidup saya cukup sering diwarnai oleh perbandingan. Saat sekolah, hal ini terbatas pada nilai rapor atau prestasi. Namun seiring bertambahnya usia, perbandingan tersebut meluas ke hal-hal lain seperti fisik, pencapaian karier hingga berkat dan kesuksesan duniawi orang lain. Rupanya, ada begitu banyak hal yang bisa kita jadikan bahan perbandingan, bahkan tak terhitung jumlahnya. 

Di era media sosial saat ini, kita semakin mudah melihat kehidupan orang lain yang terlihat lebih baik dari kita. Feed yang penuh dengan kebahagiaan, keberhasilan dan pencapaian orang lain menjadi lahan subur untuk perasaan minder itu tumbuh. Jika hanya sesekali, mungkin tidak terlalu berpengaruh. Namun jika dibiarkan berlarut-larut, perasaan rendah diri ini bisa mengikis kepercayaan diri, menghambat perkembangan diri, memicu stres bahkan dapat berujung pada kondisi rendah diri kronis (Inferiority complex), na'udzubillah tsumma na'udzubillah. Maka perlu bagi kita untuk membentengi diri dengan mengenali, menerima dan mengembangkan potensi diri sendiri serta menanamkan pola pikir positif untuk melawan perasaan minder tersebut.

Tulisan ini dapat dikatakan sebagai media saya untuk mengenali dan memvalidasi apa yang saya rasakan. Mengapa demikian? Karena jika perasaan ini dibiarkan begitu saja, tentu tidak akan baik karena kita tidak akan pernah menemukan titik akhir dari kebiasaan membandingkan diri, sebab di atas langit masih ada langit. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk belajar mengontrol diri agar tidak terus menerus terjebak dalam perbandingan yang tak berujung.


Mengapa Kita Sering Membandingkan Diri?
Perbandingan sosial sebenarnya adalah hal yang sangat manusiawi. Otak kita memiliki kecenderungan alami untuk mengukur diri sendiri dengan membandingkan diri dengan orang lain. Leon Festinger, lewat Social Comparison Theory-nya, menjelaskan bahwa manusia terdorong untuk menilai dirinya sendiri dengan melihat orang lain sebagai acuan. Kita mencari validasi, kepastian dan informasi tentang posisi kita di tengah masyarakat. Perbandingan bisa memotivasi kita untuk tumbuh dan berkembang. Namun, akan menjadi berbahaya jika dilakukan secara berlebihan, apalagi jika yang dibandingkan tidak apple to apple. Terlebih jika kita membandingkan diri dengan seseorang yang kita anggap "Sempurna"---yang biasanya hanya kita lihat dari potongan kehidupan mereka di media sosial. Padahal, media sosial bukanlah representasi utuh kehidupan seseorang. Yang kita lihat hanyalah momen terbaik yang dipilih untuk dibagikan. Apa itu salah? Tidak. Apakah salah media sosial? Juga tidak. Maka, kita-lah yang perlu bijak dan mengendalikan diri agar tidak mudah terjebak dalam ilusi kesempurnaan.


Dampak Negatif dari Kebiasaan Membandingkan Diri
Segala sesuatu yang berlebihan tentu tidak baik---begitu juga dengan kebiasaan membandingkan diri. Jika tidak dikontrol, kebiasaan ini bisa menyebabkan:

  • Kehilangan Identitas Diri
    Terlalu sering membandingkan diri membuat kita lupa siapa kita sebenarnya. Kita menjadi terlalu fokus pada kekurangan dan lupa pada kelebihan yang patut kita syukuri. Apabila dibiarkan, keautentikan diri dapat kian memudar. Padahal autentitas merupakan inti dari siapa kita sebenarnya dengan segala kurang dan lebihnya.
  • Kehilangan Kepuasan dan Rasa Syukur
    Perbandingan sosial sering membuat kita merasa "Kurang", meskipun sebenarnya kita sudah mencapai banyak hal. Ekstrimnya kita dapat merasa tidak layak merayakan sesuatu karena tampaknya tidak sehebat milik orang lain.
  • Rasa Iri dan Kompetisi Tidak Sehat
    Perasaan iri dapat merusak hubungan sosial dan mengalihkan fokus dari tujuan pribadi menjadi upaya untuk "Menyamai" orang lain. Lama-lama, kita merasa lelah sendiri karena hidup seolah menjadi ajang perlombaan tanpa garis akhir.
  • Mencuri Kebahagiaan
    Membandingkan diri seringkali membuat kita tidak bahagia. Karena yang dibandingkan adalah versi terbaik orang lain dengan versi terburuk dari diri kita. Ini adalah perbandingan yang tidak adil, dan hasilnya pun pasti menyesakkan.

Lalu, Bagaimana Mengurangi Kebiasaan Ini?

Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kebiasaan membandingkan diri, yaitu:

  • Berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan
    Mencari kekuatan dari Yang Maha Kuasa membantu kita lebih tenang dan yakin bahwa setiap dari kita dianugerahi kelebihan masing-masing.
  • Fokus pada kemajuan diri sendiri 
    Alihkan fokus mu pada membandingkan dirimu hari ini dengan dirimu yang kemarin. Sadari proses dan perkembangan yang telah kamu capai.
  • Syukuri apa yang dimiliki
    Latih diri untuk melihat hal-hal baik dalam hidupmu. Kecil atau besar, semua layak untuk disyukuri.
  • Terima ketidaksempurnaan diri
    Kita hanyalah manusia. Tidak ada manusia yang sempurna. Dengan menerima kekurangan, kita jadi lebih ringan menjalani hidup.
  • Diet media sosial
    Kurangi paparan terhadap konten yang memicu perbandingan tidak sehat. Ingat, tidak semua yang terlihat di layar itu nyata.
  • Kenali pemicunya, lalu hindari atau hadapi dengan sadar
    Layaknya seorang dokter, sebelum meresepkan obat Ia perlu mengetahui terlebih dahulu apa penyebabnya. Setelah diketahui penyebabnya, barulah pengobatan diberikan dengan tepat. Maka, kenalilah apa yang memicu kebiasaan membandingkan diri, agar kita dapat menghindari atau menghadapinya dengan sadar.

Mungkin cara-cara di atas terdengar sederhana, namun cukup menantang dalam pelaksanaanya. Tapi bukan berarti mustahil. Setidaknya, kita mengusahakan itu karena berusaha tetaplah bagian dari sebuah progres. Dalam prosesnya, jangan lupa untuk terus memberikan apresiasi dan afirmasi positif kepada diri sendiri. Semoga kita sampai pada apa yang sedang kita usahakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun