Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cara Simpel Melihat Indonesia dari Luar

5 Januari 2016   22:02 Diperbarui: 6 Januari 2016   10:06 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Illustrasi gambar/Properti.Kompas.com"][/caption]

Melihat Indonesia dari India

Pada akhir Desember 2015 lalu, saya kedatangan tamu yang baru pulang dari perjalanan ke India. Saat kawan saya itu mampir ke rumah, dia sempat menceritakan hasil lawatannya. Dia menuturkan bahwa semua warga India diberi kebebasan mengelola semua urusan hidup, kecuali urusan politik. Semua urusan politik tidak boleh disentuh, karena hal itu merupakan wewenang negara.

Satu hal yang menarik perhatian, adalah cara pejabat India menggambarkan negerinya. Seperti penuturan kawan saya itu, bahwa dari sekitar 1,2 milyar penduduk India, sebanyak 50 persen (sekitar 600 juta jiwa) tergolong kaya; sementara 50 persen lainnya (sekitar 600 juta jiwa), tergolong miskin. Hemat saya, demikianlah cara simpel pejabat India mengillustrasikan kondisi masyarakat India kepada dunia.

Hal yang sama, kita dapat melihat secara simpel gambaran negeri kita dari luar jendela. Bandingkan kondisi penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa dengan India yang berjumlah 1,2 milyar jiwa. Andaikan 100 % masyarakat Indonesia itu tergolong masyarakat kaya atau kelas menengah saja, itupun belum sebanding dengan 600 juta penduduk kaya India.

Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi India (sekitar 7%) lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 (4,73%), meskipun sama-sama mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara berpenduduk besar yang memiliki banyak kesamaan, semestinya Indonesia bisa mengejar pertumbuhan ekonomi India.

Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2015 mencapai angka 28,51 juta jiwa. Meski terdapat penurunan sebesar 80.000 orang dibandingkan Maret 2015, namun bertambah 780.000 orang bila dibandingkan dengan kondisi September 2014. Bila dirinci, jumlah penduduk miskin di perkotaan pada September 2015 mencapai 10,62 juta orang, sedangkan di perdesaan mencapai 17,89 juta orang (Kompas.com, 04/01/2016). Dalam kondisi riilnya, jumlah itu bisa lebih besar lagi.

Media itu juga melansir, bahwa inflasi di perdesaan pada Desember 2015 tercatat sebesar 1,14 %, melebihi inflasi nasional yang sebesar 0,96 %. Bahkan sepanjang Januari-Desember 2015, inflasi perdesaan mencapai 4,28 %, jauh melebihi angka inflasi tahunan (Year on Year) nasional yang sebesar 3,35 %. Sementara di sisi lain, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2015 mencapai angka 28,51 juta jiwa. Demikian gambaran ringkas kondisi inflasi dan kemiskinan akhir tahun 2015 seperti dituturkan Kepala BPS Suryamin Kompas.com (04/01/2016).

Apa Makna dan Implikasinya?

Inflasi menunjukkan harga-harga secara umum meningkat. Implikasinya, seseorang dengan jumlah pendapatan nominal tertentu, merasa lebih miskin dari kondisi sebelumnya akibat inflasi. Mengapa? karena nilai riil pendapatannya menurun, tergerus akibat inflasi. Jika digambarkan dengan konsep “daya beli”, maka dapat diartikan daya beli masyarakat menurun, akibat kenaikan harga-harga itu, meski jumlah pendapatannya tetap. Mengingat jumlah masyarakat miskin Indonesia sebagian besar berada di wilayah perdesaan, maka merekalah yang paling besar berpotensi merasakan dampak inflasi.

Jika inflasi naik, sementara pendapatannya tetap, maka kesejahteraan mereka menurun. Demikian jika digambarkan dengan konsep “kesejahteraan”. Bahkan meskipun pendapatan seseorang naik, namun bila kenaikan inflasi melebihi pendapatan nominalnya, maka dapat disimpulkan tingkat kesejahteraan mereka menurun.

Mengapa? Karena daya beli masyarakat rendah, mereka tidak dapat mengkonsumsi melebihi jumlah pendapatan riilnya, kecuali dia harus berhutang atau mendapatkan subsidi harga. Sejauh ini, BPS belum merilis indeks ketimpangan kesejahteraan 2015 terbaru, kecuali indeks rasio Gini tahun 2014 yang berada di tingkat 0,41.

Penurunan daya beli atau tingkat kesejahteraan, akan berimplikasi pada terjadinya multiplier effect aspek-aspek lainnya. Misalnya, bila daya beli menurun, maka barang-barang di pasar kurang laku. Ketika kondisi pasar komoditas “seret”, maka produksi menurun. Ketika produksi menurun, pendapatan perusahaan ikut menurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun