Mohon tunggu...
M Syukridarmawansah
M Syukridarmawansah Mohon Tunggu... Lainnya - Baik

Apa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Drama Pendidikan Gratis di Banten

30 November 2020   16:00 Diperbarui: 30 November 2020   16:03 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dewasa ini pendidikan di Indonesia semakin membaik, fasilitasnya pun semakin memadai akan tetapi yang sering kali menjadi permasalahan pendidikan di Indonesia adalah biaya pendidikan yang melambung tinggi. 

Di Indonesia rata-rata biaya yang dikeluarkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya cukup tinggi sehingga menempatkan Indonesia di urutan ketiga setelah Singapura dan Malaysia di negara ASEAN dengan biaya pendidikan tertinggi. 

Mengingat tingginya biaya pendidikan tersebut, jika kita dapat mencermati sebenarnya pemerintah telah meningkatkan beberapa layanan dalam bidang pendidikan untuk membantu meringankan beban tersebut. Misalnya, melalui program Indonesia pintar, Kartu Jakarta Pintar, maupun bantuan dana pendidikan lainnya. 

Alokasi anggaran pendidikan harus digunakan secara optimal dan merata oleh pemerintah. Tak hanya itu, semua orang sangat mengharapkan agar dana pendidikan dapat dialokasikan secara merata dan tepat sasaran. 

Atau setidaknya dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan dari sekolah negeri ataupun swasta yang kurang mampu di daerah-daerah. Ironisnya dibeberapa provinsi di Indonesia masih belum bisa dikatakan maksimal karena alokasi dananya belum merata dan tidak seperti yang diharapkan. 

Ketika hal tersebut terjadi, maka yang pertama kali di sorot yakni kinerja pemerintah daerah yang entah tak mampu mengalokasikan dana dengan baik atau memang kebijakannya hanya sebatas janji di depan. 

Seperti yang kita ketahui, pendapatan perkapita masyarakat Indonesia cenderung menengah ke bawah kadang hanya cukup  untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, lalu bagaimana untuk biaya sekolah anak? kembali lagi, masyarakat tentu mengharapkan bantuan pemerintah.

Salah satu provinsi di Indonesia yang belum bisa dikatakan maksimal pada sistem pendidikannya, yaitu provinsi Banten. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah mengenai biaya sekolah bagi anak-anak di sekolah negeri yang katanya akan digratiskan pada tahun 2018 lalu. Pemprov Banten melihat SMAN dan SMKN sedang mengalami kebingungan tentang masalah biaya operasional mereka. 

Dengan begitu lantas membuat Pemprov banten mengeluarkan kebijakan sesuai dengan Pergub nomor 31 tahun 2018 tentang Pendidikan gratis pada Sekolah Menengah Atas Negeri, Sekolah Menengah Kejujuran Negeri dan Sekolah Khusus Negeri. 

Namun itu semua ternyata hanya sebuah janji manis belaka, karena faktanya bisa kita lihat di berbagai media internet yang mencantumkan kenyataan yang terjadi dilapangan bahwa memang ada kejanggalan dalam kebijakan tersebut. 

Sekretaris Fraksi Golkar DPRD Provinsi Banten Fitron nur ikhsan menilai Pergub Pendidikan Gratis tidak berguna dilansir dari KOMPASIANA.com. "Kalau saya baca pergub ini, useless (sia-sia) karena dari keterangan yang disampaikan oleh pak Gubernur (Wahidin Halim) selama ini tidak boleh ada pungutan, tapi kemudian pergub ini membatalkan semuanya (pernyataan Gubernur). Pergub ini adalah pergub sekolah gratis, judulnya sudah dianulir sendiri oleh isinya. Isinya dibolehkan. 

Jadi pergub antara judul dan isi kontradiksi, enggak nyambung. Hanya copy paste (pergub sebelumnya)." Jadi, mana yang benar? “Pendidikan gratis” atau “Sekolah gratis?” hmm cukup membingungkan ya.. bagini, pendidikan gratis memiliki arti bahwa pendidikan tersebut sama sekali tidak di pungut biaya apapun, nah pengertian tersebut sudah mengacu pada arti di dalam KBBI lho. 

Sedangkan, sekolah gratis yakni sebuah program pemerintah yang di upayakan untuk menyelesaikan masalah pemerataan akses dalam bidang pendidikan. Bagaimana, sudah jelas bukan? 

Dan yang sedang kita bahas saat ini yaitu pendidikan gratis yang masih belum jelas adanya di provinsi Banten. Sebenarnya ini bukan untuk menyudutkan pemerintah, namun hal ini sungguh meresahkan sekolah-sekolah yang terus didesak masyarakat karena telah dijanjikan sekolah gratis.

Padahal pemerintah juga memegang peranan penting dalam hal pendidikan, bukan hanya sekadar menebar janji-janji manis saja. Seperti yang dikatakan oleh akademisi Untirta baru-baru ini, dilansir dari TOPMEDIA.co.id "Itu dua tahun masyarakat terus disuguhkan jargon pendidikan gratis di Banten, dan termasuk janji di masa pendemi Covid 19. Tapi kenyataanya, bahwa Pemprov Banten komitmen dengan dunia pendidikan, hanya tinggal janji saja. 

Pasalnya Bosda yang dianggarkan sebesar Rp 5,5 juta persiswa serta termasuk untuk kebutuhan internet tidak terealisasi," ungkap Ikhsan Ahmad melalui sambungan telephone, Senin(26/10/2020). 

Saya sendiri setuju dengan pernyataan tersebut, sungguh ironis apabila dunia pendidikan kita terpaku pada jargon-jargon kampanye para petinggi. Selayaknya kebutuhan pokok, seharusnya pendidikan menjadi prioritas utama karena kita perlu meningkatkan sumber daya manusia di Indonesia. 

Sehebat apapun pemimpinnya, sebaik apapun infrastrukturnya, apabila sumber daya manusianya buruk untuk apa? Inilah yang harus kita perbaiki, drama pendidikan di Indonesia tidak akan pernah usai apabila tidak ada kesadaran dalam diri masing-masing pihak. 

Seperti halnya pro dan kontra kebijakan pendidikan gratis di Banten ini yang sebetulnya sangat disayangkan tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur dan dua tahun sudah berlalu, semoga untuk kedepannya pemerintah Banten memiliki kebijakan yang lebih baik lagi dan semakin meringankan beban masyarakat, dan yang paling utama meminimalisir jargon-jargon kampanye yang hanya janji manis saja.

Generasi muda adalah generasi yang diharapkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa, sebagai agent of change,dan yang diharapkan untuk membawa kemajuan bangsa. Namun, bagaimana bila generasi muda bangsa ini memiliki SDM yang rendah atau dalam arti memiliki pendidikan yang tidak mumpuni? Apakah bisa kita para generasi muda memenuhi segala harapan tersebut? Tentu tidak. 

Untuk itu, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan pemerintah. Bukan hanya sekadar janji-janji belaka Pak,Bu. Yang diperlukan hanya bukti nyata bukan hanya sekadar jargon-jargon politik ketika kampanye dan kebijakan tersebut harus ditinjau ulang dan diperjelas dalam peruntukannya agar tidak rancu dan membingungkan masyarakat.

*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun