Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Biaya Hidup Semakin Tinggi?

30 Oktober 2020   05:12 Diperbarui: 30 Oktober 2020   05:16 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: blog.modalku.co.id)

(SEBUAH RENUNGAN)

Dalam berita di media, pidato pejabat pemerintah, pendapat para pakar ekonomi, dan juga obrolan di masyarakat luas; seringkali kita mendengar bahwa saat ini "biaya hidup semakin tinggi". 

Pernyataan seperti itu membuat kita merasa cemas akan hari esok, akankah kita mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari atau tidak, ketakukan akan daya beli yang menurun. Akibat kedua, sepertinya kita dituntut untuk bekerja lebih keras lagi agar mampu hidup secara layak.

Dalam menjalani kehidupan ini, KUNCI UTAMA ada pada diri kita sendiri (faktor internal). Sedangkan faktor eksternal, bagaimana pun kondisinya dan apapun yang terjadi, tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan kita. Krisis ekonomi, harga-harga naik, kelangkaan bahan pangan, dll adalah termasuk faktor eksternal.

Kalau kehidupan kita dikendalikan oleh faktor eksternal, akan susah jadinya. Dalam pengertian, kehidupan kita berjalan menurut situasi dan kondisi di luar kita. 

Padahal faktor eksternal adalah sesuatu yang berada di luar kendali kita. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah DIRI KITA sendiri. 

Mau krisis ekonomi, mau harga naik, mau sembako langka dan semacamnya, tidak akan terlalu berpengaruh jika kita memiliki prinsip hidup, pedoman, atau standar pribadi.

Be Yourself!

Jadilah diri sendiri. Mengapa harus menjalani kehidupan menurut standar hidup orang lain, menurut apa kata orang, atau mengikuti situasi ekonomi. 

Hiduplah sesuai dengan penghasilan kita, dan belanjalah sesuai kebutuhan menurut standar pribadi. Kita yang punya uang, maka kitalah yang mengatur dan mengendalikannya.

Agama selalu memberikan solusi terhadap segala permasalahan kehidupan manusia. Sekiranya situasi ekonomi sedang sulit, yang penting kebutuhan pokok bisa terpenuhi, itu sudah cukup. 

Sedangkan kebutuhan sekunder bisa ditunda atau bahkan dibatalkan. Bahkan, ketika terjadi hal tersulit sekalipun, tak lagi mampu memenuhi kebutuhan pokok, agama tetap masih memberikan solusi, yaitu untuk berpuasa.

Lebih Menuruti Gaya Hidup 

Kalau saya amati akhir-akhir ini, kehidupan rakyat Indonesia secara keseluruhan sudah bisa dibilang makmur. Untuk urusan kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan) sudah bisa terpenuhi secara layak. Orang-orang yang konon "di bawah garis kemiskinan" menurutku nyaris tidak ada. Orang yang kelaparan atau tidak makan juga tidak terdengar lagi.

Contoh sederhana, walau krisis ekonomi 1998 melanda, lalu sekarang disusul pandemi Covid-19, toh rakyat kita masih bisa makan dengan cukup, berpakaian yang pantas, dan kondisi rumah yang semakin baik. 

Bahkan, mereka masih bisa membeli rokok secara rutin, beli pulsa atau paket data, mampu melunasi cicilan, sesekali makan enak di restoran atau pergi liburan.

Faktanya, orang-orang yang merasa miskin lebih banyak disebabkan karena tidak bisa bergaya hidup seperti orang lain, tidak memiliki barang seperti yang dimiliki orang lain. Yang banyak dikejar orang sekarang adalah kebutuhan yang bersifat sekunder, bahkan tersier. 

Orang tak lagi merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya. Ia senantiasa membayangkan milik orang lain, mengkhayalkan barang yang belum dimilikinya. Tidak sedikit orang miskin yang rela berhutang di bank atau melakukan kredit barang agar memiliki standar hidup seperti orang lain.

Gaya hidup memang mahal, karena agar hidup menjadi lebih "gaya", maka diperlukan dana yang lebih. Lagipula, kalau menuruti gaya hidup, takkan pernah ada habisnya. Akan selalu ada tren baru, model baru, kecenderungan baru, dan segalanya yang serba baru.

Demi mempertahankan filosofi gaya hidup ini, maka terus-menerus didengungkan ke telinga kita pernyataan "biaya hidup semakin tinggi" agar kita semakin bekerja keras dan selalu cemas akan hari esok. 

Kita digiring untuk senantiasa menjadi budak-budak kapitalisme, menjadi korban-korban industrialisasi, selalu menjadi obyek (konsumen).

Secara mendasar, kita hanya butuh sepiring nasi, beberapa lembar kain, dan tempat berteduh (sederhana). Itu saja. Ya, hanya itu.

Beji-Andong, 30-Oct-2020; 5:09 AM
Oleh: Trimanto B. Ngaderi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun